13

199 9 5
                                    

Emi Jurnadi mengerutkan dahinya sangat dalam.

Apa maksud perkataan Rosie kemarin? Nathan uring-uringan karena tidak mau mengakui perasaannya pada Elsa?

Sungguh. Kenapa ia punya anak-anak yang sangat aneh?

Rosie jelas mengada-ada. Anak itu kebanyakan baca buku novel sehingga imajinasinya terlalu hebat. Mana mungkin Nathan jatuh cinta pada pembantunya?

Tapi, Elsa bukan pembantu biasa. Jadi, mungkin saja kata-kata Rosie benar.

Mungkin ia harus menyelidikinya sendiri.

Tepat saat itulah, Nathan turun dari lantai atas. Tampaknya baru mandi.

"Apa rencanamu hari ini, Nathan?" tanya Emi ramah penuh muslihat.

"Nggak ada." Nathan menghampiri kulkas di dekat pantry. Ia mengeluarkan kotak besar jus buah satu liter dan meminumnya langsung dari kotak itu sampai habis.

Emi memutar otaknya. "Ngomong-ngomong, kau punya utang minta maaf."

"Ya, aku tahu," gerutu Nathan.

"Ayo, sekarang lakukan."

"Aku mau makan dulu."

"Nathan." Emi melotot.

Nathan mendesah. "Oke, oke."

Dan begitulah. Diam-diam Emi membuntuti anaknya yang langsung mencari Elsa ke ruang depan. Ia mengerutkan dahinya lagi. Kok bisa-bisanya Nathan tahu di mana harus menemukan Elsa? Anaknya itu pasti sudah sering mencari Elsa sehingga tahu kebiasaan gadis itu.

Ia berdiri di balik tembok sambil mengintip.

*****

Nathan tidak langsung memanggil Elsa saat melihat gadis itu. Elsa tidak menyadari kehadiran dirinya dan asyik mengelap kaca ruang depan.

Menghilangkan sedikit kegugupannya, ia berdeham keras.

Elsa menoleh sekilas ke arahnya. Ekspresinya tak terbaca. "Ada apa, Kak?" tanyanya formal.

Nathan gatal ingin mengoreksinya. "Hmm... kulihat kau sedang sibuk," ucapnya nggak jelas.

Elsa tidak menatap Nathan sama sekali saat menjawab, "Ya, saya memang selalu sibuk di pagi hari."

"Ya, aku tahu itu." Ia kesal sendiri karena Elsa menggunakan kata "saya". Bukankah sebelum ini Elsa sudah nyaman mengobrol dengannya?

Menghentikan pekerjaannya, Elsa berdiri menghadap Nathan. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Hentikan itu!" Karena terlalu kasar, Nathan merendahkan suaranya. "Jangan bersikap formal, please. Kita sudah berteman, bukan? Atau kau sama sekali tidak peduli padaku?"

Elsa menelan ludah. "Apa kau yakin ingin aku menjadi temanmu? Kemarin kau sepertinya membenciku. Kau merasa kasihan padaku. Dan aku tidak butuh rasa kasihanmu. Aku tidak butuh orang yang berteman denganku karena rasa kasihan."

Nathan mengerang lelah. "Elsa, kumohon. Aku ingin kau mengerti."

"Mengerti apa? Aku tidak tahu sama sekali apa masalahmu."

Nathan menggertakkan giginya. Kenapa sih aku selalu ingin marah di depannya? "Aku tidak bisa menjelaskan. Aku bahkan tidak tahu apa masalahku," katanya jujur.

Tatapan Elsa melunak. "Kau bisa cerita padaku. Mungkin aku bisa membantu."

Tidak bisa. Karena kaulah sumber masalahku. Nathan mendesah. "Ah, sudahlah. Aku hanya ingin minta maaf atas kata-kataku kemarin. Aku tidak bermaksud menghinamu. Dan aku berteman denganmu bukan karena rasa kasihan."

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now