Ketika masih kecil, Elsa pernah bermimpi banyak hal. Melalui buku-buku yang dibacanya, ia mengenal dunia luar yang tidak pernah disentuhnya. Ia belajar tentang cinta, persahabatan, dan kasih sayang dari berbagai dongeng dan kisah hasil imajinasi para penulis.
Elsa sangat menyukai dongeng yang berakhir bahagia selamanya. Ia sangat senang membaca kisah Cinderella dan Ariel si Putri Duyung. Mereka berhasil meraih mimpi mereka yang tidak masuk akal dan keluar dari hidup mereka yang sulit. Dan kisah seperti itulah yang membuat Elsa bisa berharap, terus berharap akan suatu pembebasan dari ibunya yang menakutkan.
Tapi itu dulu, saat ia masih percaya pada dongeng dan kisah yang happily ever after.
Sekarang? Ia bahkan sudah tidak percaya lagi pada kata "bahagia". Menurutnya, akhir dari segalanya adalah kematian. Tidak ada yang namanya "bahagia selamanya". Itu hanyalah kebohongan yang ditanamkan orang ke dalam otak anak kecil supaya mereka bisa berpikir positif dan terus bermimpi.
Terkadang ia berharap untuk kembali menjadi anak kecil saja, saat ibunya masih normal dan belum berubah menjadi orang yang senang melampiaskan kemarahan padanya, saat dirinya masih percaya pada hal-hal yang mustahil.
Elsa menutup matanya, mencoba membayangkan kebahagiaan para putri-putri dalam dongeng itu. Mereka akhirnya menikah dengan pria yang dicintai mereka. Pesta pernikahan mereka bahkan digambarkan dengan sangat indah.
Pathetic.
Kenyataannya... segalanya sangat berbeda. Pernikahannya sendiri sangat sederhana. Ia dan Paul menikah di ballroom Hotel Wing Alley. Karena singkatnya waktu persiapan, desain ruangan dan undangannya juga biasa saja. Ia memilih gaun pengantin yang sudah jadi dan menyuruh orang mengubahnya sedikit. Tamu yang diundang memang banyak karena relasi dan kenalan bisnis Paul yang besar. Namun kebanyakan dari tamu-tamu itu tidak begitu dikenal dekat olehnya.
Asal jadi saja.
Untuk meresmikan semuanya, seorang pendeta disewa untuk datang dan memberi pemberkatan. Tak perlu ritual aneh-aneh di gereja dan segalanya. Cukup mengucapkan sumpah, pasang cincin, makan-makan, dan pulang.
Sepi sekali rasanya.
Elsa menghela napas dalam-dalam. Ia membuka mata dan menatap bayangannya di cermin. Rambutnya sudah disanggul rapi dengan hiasan bunga putih dan mahkota bermanik-manik mutiara. Wajahnya juga sudah dirias dengan apik. Baju pengantinnya yang berwarna putih gading berayun lembut di sekitar kakinya saat ia bergerak. Semuanya sempurna.
Tapi... kenapa rasanya seperti ada yang hilang?
Menghapus semua pikirannya, Elsa pun berbalik dan berjalan ke arah jendela kecil di dekat pintu. Dari jendela kecil itu, ia bisa melihat suasana ballrooom yang sudah mulai dipenuhi orang. Ia bisa melihat Paul sedang berbicara dengan pendeta berambut putih dan berkacamata.
Ia mendesah. Ia merasa sangat gugup dan takut.
Lalu ia mengalihkan perhatiannya ke barisan para tamu yang datang. Keluarga Jurnadi baru saja memasuki ruangan. Dengan cepat, matanya mulai mencari.
Tidak ada.
Yah, tampaknya Nathan memilih untuk tidak melihat dirinya menikah dengan pria lain.
Eh...
Kenapa orang-orang itu datang juga?
Elsa berkedip saat melihat lima orang yang datang dengan wajah cemberut. Lima orang sepupu Paul.
"Paul! Bisa-bisanya kau tidak mengundang kami ke pernikahanmu? Kami sepupumu!" seru Diana seraya berjalan menghentak-hentak menghampiri Paul.
Dari jendela itu, Elsa tidak bisa melihat ekspresi Paul karena pria itu membelakanginya. Tapi ia yakin Paul sangat marah karena dipermalukan seperti itu di hari pernikahannya.
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...