39

131 6 0
                                    


Hari-hari berlalu. Semakin dekat ke hari pernikahannya, Elsa menjadi semakin tertekan dan mudah merasa jengkel. Apalagi ia sering menemukan sepupu-sepupu Paul yang datang berkunjung ke Hotel Wing Alley. Ia tahu mereka pasti merencanakan sesuatu yang buruk, tapi ia tidak bisa menuduh sembarangan tanpa bukti.

Lalu ada Nathan. Ia masih sering melihat pria itu bekerja di lahan proyek hotelnya. Setiap kali, ia hanya bisa memandang dari jauh, merindukan sosok itu dan tidak berani berharap apa-apa. Untungnya, Nathan juga tidak mencarinya ataupun menghubunginya sama sekali. Mungkin pria itu sedang sibuk.

Namun Elsa tidak tahu bagaimana menekan bisikan hati kecilnya yang terus-menerus menyuruhnya pergi menghampiri Nathan dan tidak pernah jauh-jauh dari pria itu lagi.

Suatu pagi, ia dikejutkan oleh kedatangan ibunya. Ia baru selesai mandi sewaktu melihat Paul sedang mengobrol di ruang tamu bersama ibunya itu.

"Mama, ada apa ke sini?" tanyanya bingung. Kepalanya penuh dengan sejuta pikiran negatif yang mungkin menjadi alasan kedatangan Alin.

Alin bangkit berdiri. "Ah, akhirnya kau muncul juga."

Elsa melirik Paul sekilas. Pria itu sedang menulis sesuatu di pangkuannya, terlihat tenang seperti biasanya.

"Ada masalah apa lagi sekarang?"

"Tidak ada," jawab Alin. "Aku hanya kecewa karena kau tidak memberitahuku kalau kau akan segera menikah dengan pria baik ini." Ia menunjuk Paul sambil tersenyum. "Kulihat kau jauh lebih pintar dariku dalam memilih suami."

Elsa tidak suka senyum di wajah ibunya. Kesannya merendahkan juga meremehkan. Bahkan ada kesan getir di sana. "Maaf, aku lupa memberitahumu."

"Seharusnya kau tidak lupa. Kenapa kau harus menyembunyikannya?"

Paul bangkit berdiri dan menyerahkan selembar kertas pada Alin.

Elsa membelalakkan matanya. "Apa itu?"

"Oh, ini," kata ibunya sambil mengacungkan kertas itu. "Calon suamimu yang murah hati ini memberiku uang secara cuma-cuma."

"Apa?!" Elsa bisa merasa sekujur tubuhnya bergetar karena marah.

"Yah, lain kali kau tidak perlu bersusah-susah memberiku uang. Suamimu sendiri yang akan melakukannya. Kita tadi sudah sepakat."

Saat itu, seluruh hormat dan rasa sayang yang dimilikinya untuk ibu kandungnya itu lenyap tak berbekas. Yang ada hanyalah rasa jijik dan juga kasihan. Ia berjalan cepat ke arah ibunya dan merebut kertas cek itu. Dengan penuh kebencian, ia merobek-robek kertas itu dan melemparkan serpihannya ke lantai.

Alin ternganga. "A-apa-apaan kau? Itu uang pemberian Paul untukku."

"Kau tidak akan mendapat sepeser pun darinya. Aku tidak akan membiarkannya," sahut Elsa terengah-engah. Ia menoleh ke arah Paul. "Kau! Berani-beraninya kau memberinya uang tanpa mendiskusikannya dulu denganku."

"Dia ibumu, Elsa. Aku hanya melakukan apa yang sepantasnya dilakukan seorang calon suami," kata Paul membela diri.

Elsa kembali menoleh ke arah ibunya. "Kau membuatku malu, Ma. Kau mengemis uang dari orang lain. Apakah kau tidak memikirkan bagaimana perasaanku? Apakah kau tidak peduli pada harga diriku juga harga dirimu sendiri?" Seluruh kemarahan dan rasa frustrasi yang dipendamnya selama bertahun-tahu tertumpah dalam kata-katanya. Semuanya sudah memuncak dalam dirinya dan ia tidak tahan lagi.

Alin menatap tak percaya. "Dasar anak durhaka! Kau tidak tahu seberapa banyak yang sudah kukorbankan untuk melahirkanmu."

"Kau juga tidak tahu apa yang sudah kukorbankan dengan menjadi anakmu. Kau tidak pernah peduli padaku. Apakah kau ingat seberapa sering kau memukul dan menginaku dulu? Apakah kau ingat?" Emosinya tak terbendung hingga rasanya ia hampir gila.

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now