12

188 9 0
                                    

"Kau sedang bikin apa?" Yanti bertanya. Rautnya tampak tidak percaya karena ada orang lain yang menggunakan dapurnya.

Elsa menoleh. "Aku bikin roti gandum," jawabnya meringis. "Maaf, kupinjam dapurmu dulu."

Yanti mengerutkan keningnya. "Asal kau membereskan semuanya nanti. Aku tidak mau bertanggung jawab."

"Siap."

"Kau bangun pagi sekali?" Yanti duduk di salah satu kursi sambil memperhatikan Elsa membuat adonan.

"Aku tidak bisa tidur. Jadi, aku bekerja saja."

"Oh."

Tepatnya, ia hampir tidak tidur sama sekali. Ia berguling-guling di atas ranjangnya dengan gelisah. Pikirannya penuh dengan Nathan dan ia tidak tahu ingin menangis atau apa. Itu sebabnya ia memutuskan untuk membuat roti saja.

Kalau mau jujur, tadinya ia hanya ingin membuat roti gandum untuk Nathan. Cowok itu suka makan makanan sembarangan. Mungkin kalau ia bisa mengurus pola makan cowok itu, ia pasti akan senang sekali.

Tapi tentu saja. Itu semua hanyalah mimpinya. Ia hanya membayangkan yang indah-indah supaya ia tidak menangis. Dari dulu itulah yang dilakukannya kalau sedang putus asa. Bermimpi, berharap sekalipun semuanya sia-sia.

Alasan lain ia membuat roti itu adalah karena ia ingin membalas perbuatan cowok itu yang membelikannya maccaroni kemarin. Tapi kalau ia hanya membuat roti untuk Nathan saja, semua orang pasti curiga. Jadi, ia memutuskan untuk membuat roti untuk seluruh keluarga Jurnadi.

"Dari mana kau belajar bikin roti gandum?"

"Nenekku yang mengajariku. Dia dulu menjual segala macam roti."

Yanti mengangguk-angguk. "Jadi, aku tidak perlu masak makan pagi kan? Roti hasil karyamu sebentar lagi pasti sudah selesai."

"Ya, tentu saja. Kau bisa istirahat. Aku saja yang kerja."

Yanti tersenyum. "Baik sekali kau ini."

Elsa terkekeh.

Tiba-tiba seseorang masuk ke dapur. "Eh, Bi Yanti," sapa Nathan. Lalu menyadari keberadaan orang lain di situ, ia berkata pelan, "Elsa."

"Kenapa kau sudah bangun, Nathan?" Yanti memandangi celana training dan sepatu olahraga yang dikenakan anak majikannya itu.

"Aku ingin lari pagi dulu."

"Lari pagi? Ini masih jam lima."

Nathan hanya mengangkat bahu. "Nggak apa-apa. Udaranya masih segar," katanya.

Elsa menyadari kantong hitam di bawah mata Nathan, tapi ia tidak berkomentar.

"Ya, sudah. Sana," usir Yanti.

"Oke, pergi dulu ya."

"Kau bakal sakit," celetuk Elsa tanpa bisa mencegah dirinya sendiri.

Nathan berbalik. "Aku hanya berolahraga," ujarnya kaku.

"Uda-daranya kan dingin di luar," sahut Elsa tergagap.

Nathan tersenyum miring. "Aku kan pakai jaket. Bye, Elsa," ucapnya cepat sebelum berlalu dari tempat itu.

Elsa tidak sadar kalau dirinya menatap tempat Nathan berdiri sebelumnya terlalu lama.

"Kau perhatian sekali sama anak bandel itu," komentar Yanti sambil mengerutkan dahinya.

Elsa sedikit terkejut mendengar suara itu. Ia seakan baru sadar kalau Yanti masih ada di dekatnya. "Aku hanya memberi masukan saja," ujarnya gugup sambil memusatkan perhatian pada adonan di hadapannya.

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now