Karena minggu sebelumnya Nathan mengambil cuti demi berlibur, kini ia harus mengejar ketinggalannya. Hari-hari kerjanya menjadi lebih sibuk daripada biasanya.
Itu sebabnya ia baru bisa meninjau kondisi Hotel Wing Alley pada hari Jumat. Ia harus melihat ide apa yang ia punya untuk mempercantik tanah kosong di bagian belakang hotel itu.
Dengan penuh tujuan, ia berjalan lewat pintu depan hotel sambil mengamati desain interior lobby hotel itu dan sekalian mencari inspirasi. Saat ia melewati restoran hotel, pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang melamun sendirian di salah satu meja restoran.
Nathan mengerutkan keningnya. Ia jelas tidak kebal dengan kecantikan Lisa. Ia bahkan sangat sadar kalau wanita itu memang pada dasarnya menarik. Tapi yang membuatnya terpaku dengan pemandangan itu adalah kerapuhan di wajah itu. Sejak pertemuan pertama mereka waktu itu, ia sudah membangun respek dan hormat terhadap Lisa.
Yah, bagaimana tidak? Lisa menyebarkan aura kepemimpinan yang sangat tajam. Wanita itu tampak berwibawa dan juga menjaga jarak.
Tapi ia jelas tidak menyangka kalau wanita sekuat itu bisa juga tampak rapuh. Dan ia pun jadi jatuh kasihan. Bukan maksudnya menghina, ia hanya tidak tega melihat seorang wanita makan sendirian.
Memutuskan untuk menjadi gentleman, Nathan menghampiri Lisa.
*****
Elsa tidak merasa seperti dirinya sendiri akhir-akhir ini. Ia sering melamun dan ia susah sekali berkonsentrasi pada pekerjaannya.
Terutama karena bayangan sosok Nathan terus menari-nari di kepalanya.
Ia berubah menjadi semakin sentimental dan melankolis setiap harinya. Ia merasa seperti orang yang baru pertama kali jatuh cinta dan juga merasa seperti orang yang sedang patah hati.
Begitulah. Nathan memang masih punya pengaruh yang hebat terhadap dirinya.
Elsa menatap ke luar jendela restoran. Saat itu, ia sedang menikmati makan siangnya sendirian tanpa Paul.
Pagi tadi Paul sempat menelponnya untuk memberi tahu bahwa pria itu tidak bisa makan siang bersamanya. Ia harus pergi ke Bogor dan mengurus perusahaannya di sana.
Paul memang sering pergi keluar kota secara mendadak seperti itu. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan itu.
Tapi kali ini berbeda.
Entah kenapa ia merasa diabaikan. Mereka kan mau menikah. Setidaknya Paul sedikit memperhatikan hal itu. Ia kan sudah menghubungi wedding organizer. Ia juga sudah merencanakan semuanya supaya pernikahan bisa dilangsungkan bulan depan.
Hanya saja Paul sama sekali tidak mau tahu soal itu. Kemarin ia sempat meminta pendapat soal makanan dan undangan. Namun Paul hanya bilang bahwa itu semua terserah dirinya saja.
Elsa tahu kalau Paul sibuk. Tapi pernikahan mereka adalah ide pria itu. Ia butuh saran dan pendapat Paul untuk hal sepenting pernikahan.
Pada akhirnya, Elsa hanya bisa mengeluh dalam hati. Untuk pertama kalinya, ia ingin meminta bantuan dari orang lain. Ia tidak mengerti apa pun soal pernikahan. Ia bisa bekerja, memenangkan negosiasi bisnis, dan urusan lainnya. Tapi ia sama sekali buta soal pernikahan. Ia gugup dan bingung, sementara satu-satunya orang yang bisa diminta pendapat malah tidak mau peduli.
Tapi... kalau dipikir-pikir lagi, pernikahannya adalah pernikahan bisnis. Seharusnya mudah saja kan?
"Saya lihat Anda sendirian saja. Saya boleh duduk di sini?"
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...