"Kau mau sekolah, Elsa?" tanya Rudi yang melihat pembantu barunya lewat.
Elsa terkejut dan berbalik.
Emi yang sedang memotong kue di meja makan juga sama kagetnya dengan Elsa. "Kenapa kau tanya begitu tiba-tiba?" Ia menoleh ke arah suaminya yang duduk di sebelahnya.
Rudi meminum kopinya sebelum menjawab, "Kan kamu bilang dia pintar. Lagipula sayang kalau potensi seperti itu disia-siakan. Jadi, kita sekolahin saja dia."
Emi merenung sesaat sebelum menoleh ke arah Elsa. "Bagaimana, Elsa? Kau mau?"
Saking syoknya, Elsa sampai tercengang sendiri. "Sa-saya... sa-saya rasa itu tidak perlu."
"Lho, kenapa?" kata Emi.
Elsa menggeleng. "Nggak apa-apa. Saya tidak mau sekolah. Tapi terima kasih, Tuan, Nyonya," ujarnya sambil menunduk. Ia tidak enak. Jelas sekali ia mau sekolah, tapi bukan dengan cara ini. Tidak dengan cara pemberian cuma-cuma seperti ini.
"Kau yakin?" tanya Rudi.
Memantapkan diri, Elsa mengangguk. "Saya mau kerja saja." Aduh, menggoda banget tawarannya.
Rudi hanya mengangkat bahu dan kembali meminum kopinya.
Emi terlihat masih ingin memaksa Elsa untuk menerima penawaran itu. Tapi, tepat saat itu anak-anaknya muncul dari lantai atas untuk sarapan pagi. Elsa juga memilih saat itu untuk mengucapkan, "Permisi" dan menghilang.
*****
Nathan melepaskan ciumannya dan berkata, "Aku mau merokok dulu."
Vicky memasang tampang cemberut. Ia mendorong Nathan. "Kau ini... Sudah kubilang jangan merokok. Mulutmu bau, jadinya."
Nathan terkekeh. "Tenang, aku tidak bakal menciummu lagi sampai aku cuci mulut." Ia mengeluarkan batang rokok dari saku seragam sekolahnya dan menyalakannya dengan pemantik.
"Kau lagi batuk kan? Nggak boleh." Vicky maju untuk merebut rokok di mulut pacarnya.
Nathan yang sudah bisa menebak gerakan Vicky langsung menjauh. Beruntung, tinggi badannya mencapai 182 cm. Vicky kan pendek, mungkin sekitar 157 cm. Ia memegang rokoknya di atas kepala.
"Nathan! Kamu tuh licik banget sih."
Nathan hanya mengangkat alis pura-pura terkejut. "Wah, kau pendek sekali ya." Dengan sengaja, ia mengacak-acak rambut Vicky.
"Ih, sebel."
"Jangan marah dong, Say," ucap Nathan nggak serius.
Vicky hanya meninju lengan Nathan. Ia memang tidak pernah bisa marah pada pacarnya itu. Ia sudah mengerti sifat Nathan yang suka iseng.
Sementara itu, Nathan dengan santai mengembuskan asap rokoknya sambil menatap pemandangan di depannya. Sebenarnya pemandangan di depan mereka sama sekali tidak menarik. Hanya sebuah sungai dangkal kotor di bawah jembatan yang letaknya tidak jauh dari lokasi sekolah. Mereka memang suka menghabiskan waktu di situ sepulang sekolah karena suasananya sepi. Lumayan, bisa berpacaran sambil menunggu dijemput.
"Kau kan tahu aku nggak suka kamu merokok. Lagian sudah tahu gampang batuk, masih saja bandel. Nanti kalau kena kanker paru-paru, gimana? Kamu..."
Ucapan itu menghilang secara samar-sama ke latar belakang di telinga Nathan. Entah kenapa saat ia melihat suasana sepi di sekitarnya itu, ia kembali teringat pada Elsa. Sudah hampir dua minggu ia tidak mengobrol dengan gadis itu. Alasannya karena ia memang sedang sibuk ujian akhir semester. Tapi, sebagian besar alasannya adalah karena ia mencoba menghindari Elsa. Oh, ia masih menyapa gadis itu kalau mereka tanpa sengaja berpapasan di rumah. Tapi, ia berusaha menjauhi Elsa.
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...