Elsa terus-menerus melihat ke arah jam dinding di kantornya dengan gelisah.
Apa yang harus dikatakannya pada Nathan? Jelas sekali kalau makan malam nanti adalah sebuah kencan. Ia harus mempersiapkan kata-kata untuk menolak apa pun yang sedang direncanakan pria itu.
Tapi ia tidak punya keberanian untuk itu. Kalau ia tidak punya perasaan apa-apa pada Nathan, semuanya akan mudah dilakukan. Namun kalau dirinya boleh jujur, ia menginginkan kencan ini. Ia ingin semuanya seperti masa lalunya dulu, saat ia dan Nathan masih bersama.
Elsa mengerang. Ia jijik pada dirinya sendiri. Ia sudah menjadi calon istri Paul. Tidak seharusnya ia menginginkan pria lain.
Lagipula apa sih yang ada di pikiran Nathan? Bukankah pria itu sudah tahu kalau dirinya akan menikah dengan orang lain?
Ia melirik jam dindingnya lagi. Sudah jam enam lebih lima.
Elsa bergidik. Ia berharap semoga Nathan tidak datang. Walaupun itu adalah pikiran seorang pengecut, ia tidak peduli. Ia tidak bisa menghadapi Nathan.
Suara ketukan pintu membuat Elsa terlonjak di kursinya.
Menelan ludah, Elsa berseru, "Masuk!"
"Apa kau tidak punya ha-pe?" tanya Nathan langsung begitu membuka pintu.
Elsa merasa jantungnya berdebar jauh lebih cepat. Ia memperhatikan Nathan menutup pintu dan menghampirinya. "Kenapa memangnya?"
"Soalnya aku susah menghubungimu. Masa aku harus menelpon Kaine dulu setiap kali ingin bicara denganmu?" Nathan memilih duduk di salah satu kursi di hadapan Elsa.
"Aku memang tidak punya ha-pe."
"Jangan bohong," ucap Nathan sambil melipat kedua tangannya di atas meja.
"Aku tidak─"
"Lisa," potong Nathan. "Kau menghindariku ya?"
"Tidak," ujar Elsa cepat.
Nathan tersenyum tanpa humor. "Kenapa kau tidak muncul untuk makan siang tadi?"
"Aku makan siang bersama Paul, kok."
"Kau tidak keluar dari ruanganmu sama sekali hari ini. Paul juga tidak datang ke hotel siang ini. Kaine yang memberitahuku."
Elsa mengutuk Kaine dalam hatinya. "Aku sibuk," ujarnya lagi.
Nathan menatap tajam ke arah wanita di depannya. "Kau juga tidak menelponku. Padahal aku sudah meminta Kaine untuk menitip pesan padamu."
Elsa melengos. Ia memang sengaja mengabaikan pesan Nathan yang disampaikan lewat Kaine. "Maaf," katanya pelan.
Nathan mendesah. "Ini pasti soal kemarin kan? Kalau memang itu membuatmu tidak nyaman, aku minta maaf. Tapi seharusnya kau mengatakan sesuatu. Jangan mendiamkanku seperti ini."
Elsa menoleh ke arah Nathan. "Aku hanya tidak tahu harus bicara apa."
Hening sesaat sebelum akhirnya Nathan berkata, "Lupakan apa pun yang kukatakan kemarin. Sekarang kembali ke pertanyaan awal. Apa kau benar-benar tidak punya ha-pe?"
"Aku punya. Tapi aku tidak sembarangan memberikan nomorku pada siapa pun."
"Bahkan kepada seorang teman sekalipun?"
"Yah... hubungan kita hanya sebatas pekerjaan. Dan siapa pun yang ingin menanyakan soal pekerjaan bisa menghubungi Kaine. Dia akan menyampaikannya padaku."
Nathan terdiam sebentar sebelum berkata, "Jadi, itu sebabnya kau dijuluki 'Ice Queen'. Kau tidak mengizinkan siapa pun dekat-dekat denganmu ya?"
Elsa bergerak-gerak tidak nyaman di kursinya. "Itu hanya kebiasaanku saja."
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...