41

148 6 0
                                    

"Bikin malu saja," komentar Nenek Hera entah untuk yang keberapa kalinya.

Nathan merasa kupingnya panas karena mendengar omelan keluarganya sepanjang perjalanan pulang dari pesta pernikahan Elsa. Bahkan sampai di rumah pun, kedua orangtuanya dan juga neneknya masih tetap marah-marah.

Dan malangnya, ia tidak bisa membantah sama sekali karena apa yang mereka katakan sangat benar. Tindakannya tadi terlalu berlebihan dan keterlaluan. Tidak hanya dirinya yang malu, seluruh keluarganya juga.

"Kenapa sih Nathan? Kenapa kau tidak bisa merelakan Elsa sama sekali?" ibunya bertanya dengan nada kecewa.

"Kamu ini aneh. Nggak mau nerima patah hati sama sekali. Kamu harus tahu kalau ada beberapa hal yang tidak bisa kamu dapatkan. Termasuk perempuan. Kalau perempuan itu sudah nolak, ya sudah. Pakai acara batalin pernikahan segala. Kamu sudah lupa sama harga diri kamu sendiri, hah?" Rudi untuk pertama kalinya sangat marah pada anak laki-lakinya itu.

Sayangnya, harga diri tampak tidak ada artinya jika sudah menyangkut dia, Pa, jawab Nathan ironis dalam hati.

"Sudahlah, Ma, Pa. Kak Nathan mungkin hanya terlalu sedih dan putus asa sampai bisa melakukan itu," kata Rosie berusaha menengahi. "Elsa juga sudah bersikap terlalu kejam padanya."

"Tapi perbuatan kakakmu itu sudah terlalu melewati batas," sergah Rudi masih emosi.

"Ini harus diomongin bener-bener. Nathan, apa kamu sadar apa kesalahanmu?" tanya Emi.

Nathan hanya mengangguk lelah.

"Kalau kamu sadar, kenapa masih melakukannya juga?" Rudi berkata sambil mondar-mandir di ruang tamu.

Nathan mendesah pasrah. Ia hanya diam mendengarkan semua yang seluruh anggota keluarganya katakan. Tapi, ia tidak terlalu menyimak semua ceramah itu. Hanya satu hal yang ada di pikirannya saat itu.

Elsa dan dirinya benar-benar sudah berakhir.

*****

"Kau tidak mungkin begini tega padaku, Elsa."

Ratusan kali ia memutar seluruh adegan itu dalam kepalanya. Dan yang paling membuat hatinya pedih adalah ekspresi di wajah Nathan saat itu. Betapa dalam luka yang sudah ditorehkannya pada pria itu dan selamanya Nathan tidak akan mungkin memaafkannya.

Elsa menyentuh dadanya, tepat di bagian jantungnya berada. Ia menekannya dengan harapan sakitnya akan hilang. Tapi, sakit itu bahkan tidak berkurang sedikit pun.

Maafkan aku...

Pintu kamarnya diketuk.

Dengan terkejut, ia langsung menyahut, "Masuk!"

Ternyata Paul.

Tentu saja. Siapa lagi? Ini malam pengantin mereka. Paul akan mengajak dirinya untuk tidur bersama pria itu.

Dan itulah yang ia takutkan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Paul cemas saat melihat kegugupan Elsa.

Elsa mengubah posisi duduknya di ranjang dengan gelisah. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram seprai ranjangnya dengan sangat kuat. Ia tersenyum ke arah Paul. "Aku baik-baik saja, kok."

Paul mengangguk singkat sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu... good night."

"Kau tidak mau melakukannya?" Elsa tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

Paul tidak jadi berbalik pergi. Ia menatap Elsa bingung sebelum akhirnya ia mengerti. Ia mendesah pelan. "I won't touch you, Elsa."

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now