42

144 5 0
                                    

Paul meninggal dalam tidurnya di akhir bulan Juni, tiga setengah bulan setelah pernikahannya dengan Elsa. Setelah perjuangannya untuk tetap hidup di hari-hari terakhirnya, ia terpaksa menyerah saat penyakitnya sudah terlalu parah.

Elsa tidak menangis saat Paul meninggal. Ia sudah terlalu banyak mencucurkan air matanya selama sisa-sisa waktu yang dimilikinya bersama pria itu. Air matanya sudah habis terkuras sehingga selama proses pemakaman Paul, matanya kering kerontang sekalipun hatinya sudah hancur tak berbentuk lagi.

Ia tidak lagi percaya pada keberuntungan. Ia sudah cukup berharap dan kecewa. Ia berubah menjadi pribadi yang mirip Paul. Ia tidak lagi percaya pada kebahagiaan.

Sama seperti hidupnya, pemakaman Paul terasa sepi dan suram. Tidak banyak orang yang ingat dan peduli pada pria yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di Bandung itu. Karena... selama masa hidupnya, Paul tidak pernah peduli pada orang lain.

Lama setelah upacara pemakaman selesai, Elsa masih berdiri di depan nisan itu sambil melamun. Ia tidak berani melangkah pergi karena ia takut pada dunia yang harus dihadapinya tanpa Paul.

Dan seakan segalanya belum cukup buruk, kelima sepupu Paul memilih saat itu untuk mendatanginya.

"Bagaimana kejadiannya sampai Paul meninggal seperti ini?" tanya Martin berusaha menunjukkan simpati walaupun itu bohong.

"Dia sakit," jawab Elsa dingin.

"Oh, begitu. Aku turut berduka cita," ujar Martin sok baik.

"Aku tidak akan berpura-pura kalau aku sedih karena dia mati," kata Joseph.

"Aku juga tidak," timpal Reinald.

"Memang sudah sepantasnya dia meninggal. Dia terlalu jahat untuk pantas hidup," komentar Diana.

"Bisakah kalian menghormatinya? Dia sudah meninggal. Jangan menghinanya," sahut Elsa panas.

"Kami tidak bermaksud begitu," kata Martin mendayu-dayu menyebalkan. "Tapi aku punya pertanyaan."

"Pertanyaan apa?"

"Apakah Paul menulis surat warisan? Dia pasti meninggalkan sesuatu untuk kami, para sepupunya," kata Martin manis.

Elsa ingin meledak saat itu juga. Tubuhnya bergetar karena amarah dan juga nafsu untuk membunuh kelima orang di hadapannya. Bagaimana mungkin ada orang yang sebegitu teganya menginginkan kematian seseorang karena sebentuk warisan?

"Dia tidak menulis surat warisan," kata Elsa ketus. "Tapi dia sudah mengatur agar semua perusahaannya sekarang berada di bawah namaku."

"Apa?!" Mata Diana melotot seperti ikan kehabisan napas.

"Itu tidak mungkin serius," sahut Joseph tidak percaya.

"Itu keinginan Paul. Ia tidak ingin memberikan hartanya sepeser pun untuk kalian."

"Dasar makhluk tak berguna!" teriak Martin marah.

"Kau...," geram Diana menggunakan telunjuknya untuk menusuk bahu Elsa. "Kau tidak berhak mendapatkan warisan itu. Kau bukan siapa-siapanya."

"Aku istrinya," ucap Elsa tenang sekalipun ia merasa sangat murka.

"Tapi kau tetap tidak berhak atas semua warisannya. Ini tidak adil. Kami keluarganya!" Diana berteriak histeris. Ia melangkah maju seakan ingin mencekik Elsa.

"HEI!" Suara hardikan keras dari arah Kaine―Elsa lega sekali karena ternyata asistennya masih ada di situ―membuat kelimanya menoleh ke arah pria itu.

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now