"Kau cepat belajar juga," kata Yanti mengomentari.
Elsa yang sedang mencincang daging hanya tersenyum senang karena ia berhasil menyenangkan pembantu tua itu.
"Kau bilang kalau kau cuma lulusan SD kan?" Yanti mengerutkan dahinya.
"Iya. Nenekku tidak bisa membiayai sekolahku, jadi aku berhenti sekolah," jawab Elsa tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaannya.
"Kau pasti sangat pintar." Yanti mengamati pembantu baru di hadapannya dengan seksama.
"Nggak. Biasa saja," ucap Elsa.
Yanti tetap memperhatikan Elsa dengan tajam sekalipun yang diperhatikan sedang asyik mencincang daging. Ia merasa curiga. Entah kenapa Elsa sangat berbeda dari pembantu muda yang biasa keluar masuk rumah majikannya ini. Elsa terlalu sopan dan juga seorang pengamat yang baik. Gadis itu baru mulai bekerja, tapi ia sudah sangat terbiasa dengan dapurnya yang adalah wilayah kekuasaan Yanti. Elsa bahkan sudah tahu letak banyak barang dan sikap gadis itu sangat gesit. Semua pekerjaan bersih-bersih sudah selesai dikerjakannya sendirian, jauh lebih cepat dibandingkan sewaktu Rini dan pembantu-lama-yang-ia-sudah-lupa-namanya itu masih ada. Dan sekarang Elsa masih sempat membantunya memasak di dapur.
Aneh sekali. Ia tidak percaya ada pembantu serajin ini dalam bekerja.
"Yan, minta kopi dong," pinta seseorang yang tiba-tiba masuk dapur.
Elsa menoleh ke arah pria tua botak yang bertubuh kecil itu. Ia tidak yakin siapa orang itu.
"Sebentar ya," kata Yanti mulai mengambil toples berisi bubuk kopi di salah satu rak dan mengambil ketel air panas.
"Saha ieu, Yan? Pembantu anyar?" (Siapa ini, Yan? Pembantu baru? - bahasa Sunda)
"Iya, Di." Kepada Elsa, Yanti berkata, "Elsa, ini Pak Endi. Sopir keluarga yang sudah bulukan saking lamanya kerja di sini. Aku saja sampai bosan ketemu dia melulu."
Pak Endi mendengus. "Memangnya kamu saja yang bosan?"
Yanti melotot ke arah sopir itu. "Nggak ada kopi buatmu."
"Iya, ampun. Galak amat sih ini."
Elsa hanya tersenyum salah tingkah tanpa tahu harus berkomentar apa.
"Namanya siapa tadi?"
"Elsa." Kali ini Elsa yang menjawab.
Endi mengangguk-angguk. "Namanya bagus," katanya. "Geulis." (Cantik - bahasa Sunda)
Elsa hanya tersenyum gugup sambil menggumamkan terima kasih.
"Mana kopinya?" Endi bertanya lagi sesaat kemudian.
"Ini lagi dimasak."
"Eh, iya. Itu pembantu satu lagi ke mana? Si Rini itu. Kemarin bukannya sudah balik?"
"Hah! Si pemalas itu masih tidur di kamarnya," kata Yanti keras. "Coba lihat. Jam sebelas dan dia belum bangun. Semua kerjaannya dilakuin sama si Elsa ini."
Endi terkekeh. "Si Yanti memang nggak suka sama Rini, Sa. Dia iri gara-gara Rini lebih cantik. Si Rini itu banyak yang naksir, mulai dari tukang sayur sampai tukang kebun rumah sebelah," jelasnya pada Elsa.
"Siapa yang iri? Cantik, hah? Cantik gundulmu itu!"
"Gundulku nggak cantik, tapi ganteng."
"Sudah tua masih saja seperti anak kecil."
"Yah, mending kayak anak kecil daripada judes kayak kamu. Cepat tua dan keriput."
"Eh, kita ini seumur. Kamu juga sama, banyak keriputnya."
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomantizmDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...