32

157 6 0
                                    

Nathan melangkah menyusuri pelataran di samping kolam renang hotel sambil melamun. Udara segar sore hari membuatnya merasa lebih baik. Perlahan ia bisa merasakan kekuatan tubuhnya kembali seperti semula.

Ia mengembuskan napas panjang.

Hatinya benar-benar galau. Mengejar satu wanita saja susahnya minta ampun. Padahal begitu banyak wanita di luar sana yang jauh lebih mudah didekati. Tapi kenapa dia harus mencintai wanita yang sulit dimengerti seperti Lisa?

Yah... sepertinya sesuatu―ia tidak tahu apa itu―membuat suasana hati Lisa buruk. Pasti itulah sebabnya wanita itu bersikap menyebalkan dan bahkan mengusir dirinya tadi. Biasanya Lisa jauh lebih tenang.

Nathan melirik jam tangannya. Sudah satu jam ia berjalan-jalan. Sekarang pasti kemarahan Lisa sudah reda.

Nathan pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Dengan menggunakan kartu kunci―ia meminta cadangannya dari resepsionis tadi―ia membuka pintu kamar itu.

Begitu pintu terbuka, ia langsung tahu ada yang tidak beres. Kamar itu terasa jauh lebih sepi dan kosong. Bahkan koper Lisa dan laptop-nya tidak kelihatan di mana-mana.

Nathan langsung mengumpat. Lagi?! Lama-lama Lisa bisa membuatnya gila dengan aksi kaburnya.

Tiba-tiba pandangannya terpaku pada ponsel miliknya yang ditinggalkan tergeletak di atas meja. Ada satu pesan di sana dari Lisa.

Maafkan aku, Nathan. Aku tidak bermaksud bersikap jahat padamu tadi. Suasana hatiku sedang jelek dan aku sudah bersikap tidak adil dengan menumpahkannya padamu.

Tapi, kita memang tidak bisa bersama. Jangan berharap padaku lagi, sama seperti aku juga akan berhenti berharap padamu. Mulai sekarang hubungan kita hanya sebatas perkerjaan saja. Tidak lebih dari itu.

Sampai ketemu lagi nanti. Aku pulang dulu ya. Aku sudah membayar bon hotel, jadi kau bisa checkout kapan saja.

Sekali lagi maafkan aku. Seandainya kita bisa saling mengenal di waktu dan situasi yg berbeda, mungkin kau dan aku bisa bersama.

Nathan mengerang gemas. Dengan gerakan cepat, ia menekan tombol untuk menghubungi nomor Lisa. Dan persis seperti dugaannya, ponsel wanita itu tidak aktif.

Rasanya ia ingin membanting ponselnya saat itu juga.

Terserah, deh. Terserah kau saja, Lisa. Yang jelas aku belum menyerah.

Nathan menarik napas beberapa kali untuk menenangkan kejengkelannya. Setelah itu, ia mulai membereskan barang-barangnya. Kalau Lisa sudah pulang, tidak ada hal lain yang bisa menahannya tetap di kota ini. Ia juga akan pulang.

Menyebalkan.

*****

Setelah menebus jam tidurnya yang kurang, Elsa berhasil bangun pagi dengan perasaan yang jauh lebih enak. Kemarin malam sewaktu sampai di rumah, ia langsung tidur tanpa menunda-nunda.

Ia melirik sekilas jam beker di samping tempat tidurnya. Jam setengah tujuh.

Turun dari tempat tidur, Elsa memutuskan untuk segera mandi dan bersiap-siap untuk ke hotel. Ia harus bekerja sekalipun hari ini hari Sabtu.

Tiga puluh menit kemudian, Elsa sudah selesai mengerjakan rutinitas paginya. Ia duduk di meja makan untuk menyantap sarapan yang sudah disediakan oleh Darsih.

"Kau sudah bangun rupanya."

Elsa menoleh ke arah Paul yang saat itu juga sudah siap dengan pakaian kerjanya. "Pagi, Paul."

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now