"Ada masalah apa?" Jerry membuka pembicaraan.
Elsa yang sedang mencari posisi duduk yang enak untuk berpose langsung merespons, "Masalah apa?"
"Kau terlihat cemas dan entahlah. Ada yang beda dari sikapmu."
Elsa terdiam sebentar sebelum menjawab kasual, "Tidak ada apa-apa."
Jerry mengerutkan dahi sebentar, tapi lalu mengangkat bahu. Perjanjiannya dengan Elsa adalah tidak saling bertanya mengenai hal-hal pribadi. Selama ini ia melukis, sementara Elsa duduk diam. Tak ada kata-kata tertukar di antara mereka selain yang berhubungan dengan masalah pose dan warna.
Beberapa saat kemudian mereka sudah kembali pada rutinitas yang biasa.
Tapi...
Pintu dibuka dengan tiba-tiba. Nathan berdiri di baliknya dengan piyama birunya dan penampilan kusut khas orang baru bangun. Ia menyeringai jail ke arah kakaknya dengan sengaja.
"Selamat siang, kakakku tersayang!" sapanya.
Jerry menggeram kesal dan membanting pensil gambarnya. Sementara itu Elsa hanya terduduk kaku sambil menundukkan kepalanya malu seperti ketahuan melakukan sesuatu yang buruk.
"Apa yang elo lakuin di sini? Udah gue bilang gue nggak suka diganggu. Apalagi sama elo." Jerry memberi penekanan pada kata-kata terakhirnya.
"Elo nggak mungkin membenci gue sebesar itu," kata Nathan santai. Lalu ia menoleh ke arah Elsa dan tampak benar-benar terkejut.
"Elo nggak sekolah?"
"Nggak. Gue nggak bisa tidur semaleman," ujar Nathan sedikit tajam sambil mendelik ke arah Elsa. Tapi sayangnya, orang yang dimaksud sedang menunduk.
"Jadi, elo bolos?"
"Jangan mulai berceramah seperti kakak yang taat aturan. Elo juga suka bolos dulu."
Jerry mendengus. Ia memang selalu jengkel dengan betapa pintarnya Nathan membalas perkataannya. Oh, salah. Tepatnya, semua orang selalu jengkel pada Nathan. Adiknya itu memang paling iseng, banyak akal, dan pintar bicara di keluarganya. Setelah Nathan, masih ada Fanny. Itu sebabnya ia lebih memilih menyendiri di kamarnya.
"Katanya, elo nggak bisa tidur semaleman. Tidur lagi sana," usir Jerry.
"Udah, gue justru baru bangun ini." Nathan melihat jam tangannya. "Jam setengah dua. Lumayan, gue udah nebus jam tidur gue. Tadi pagi gue langsung pilek karena kurang tidur."
"Elo emang gampang sakit. Minggu lalu elo demam, dua minggu lalu elo batuk, hari ini elo pilek―"
"Hei! Gue nggak selemah itu."
"Terserah. Kalau elo mau jaga kebiasaan makan elo yang aneh itu, elo pasti jarang sakit."
"Gue kan makan karena lapar," protes Nathan membela diri.
"Iya," sahut Jerry manis sambil tersenyum dibuat-buat. "Sekarang elo keluar dari kamar gue sebelum gue marah. Gue mau melukis."
"Elo melukis dia?"
Mendengar itu, Elsa mendongak dan membalas tatapan kedua orang di hadapannya. Tapi ia langsung menunduk lagi dan berpura-pura tertarik pada pola lantai kamar Jerry.
"Ya. Memangnya kenapa? Sudah, jangan tanya-tanya. GUE MAU KERJA!"
"Ya, ampun. Elo bahkan lebih galak daripada Josh."
"Sahabat elo mungkin masih tahan sama elo, tapi gue nggak. KELUAR!"
Nathan hanya terkekeh dan menganggap teriakan itu angin lalu. "Hei, Elsa. Minta tolong bilangin ke Yanti buat bikinin jus buah dua gelas besar ya. Terima kasih."
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...