21

158 9 0
                                    

Rosie benci berada di dalam rumah. Masalahnya, semua orang gampang naik darah dan marah-marah. Suasana rumah begitu tegang seperti tali yang direntangkan.

Kakaknya, Nathan masih senang mengurung diri di kamar karena patah hati. Sudah seminggu sejak kepergian Elsa dan Nathan masih sama saja. Untungnya, Nathan masih mau makan. Meskipun kakaknya itu menjalani hidup seperti robot.

Dan itu sangat menjengkelkan. Ibu dan ayahnya menyalahkan neneknya atas kepergian Elsa. Neneknya juga marah-marah karena niat baiknya dianggap tidak pada tempatnya. Setiap makan malam, tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Bahkan Fanny yang biasanya paling berani bicara juga diam seribu bahasa.

Tapi anehnya, tidak ada satu orang pun yang berani memarahi Nathan. Mungkin mereka kasihan melihat betapa terpuruknya Nathan ditinggal Elsa. Dan kakaknya itu kan cuma korban.

Yah, korban patah hati yang menjengkelkan. Itu sebabnya dirinya sudah memutuskan untuk tidak jatuh cinta seperti kakaknya yang menyedihkan itu.

Rosie mengetuk pintu kamar kakaknya pelan sebelum membuka pintunya.

Nathan masih dalam posisinya yang sudah legendaris sepanjang seminggu ini, sementara di ranjang satunya Fanny asyik membaca majalah sambil mendengarkan lagu lewat headphone.

"Gimana?" tanya Rosie tanpa suara ke arah Fanny.

Fanny melepaskan headphone dari telinganya dan menggeleng pelan sebagai tanda kalau masih belum ada kemajuan.

Rosie benar-benar sudah tidak sabar. Ia juga sedih karena Elsa pergi dan ia tahu Nathan pasti lebih sedih darinya. Tapi ini sih keterlaluan.

"Sudah, aku bosan kalau kayak gini terus," sahut Rosie sambil berjalan menghampiri ranjang Nathan. "Bangun, Kak. Bangun. Bangun." Ia mengguncang-guncang tubuh kakaknya itu.

"Mengganggu saja sih, Ros. Aku mau―"

"―kau mau sendirian. Aku tahu itu. Tapi sudah cukup. Mau sampai kapan sih Kakak seperti mayat hidup begini?"

Nathan mendesah kesal dan berbalik menghadap Rosie. "Kau memang menyebalkan ya, Ros."

"Oh, aku tahu siapa yang lebih menyebalkan. Kau dengan penampilan seperti zombi, melamun terus-menerus di kamar dan mendiamkan semua orang. Nah, itu jauh lebih mengesalkan."

"Rosie bener, Nate. Lu itu udah nggak jelas hidupnya. Lu juga keliatan sakit, tapi lu tetep nggak mau peduli. Gue ngomong sampai mulut berbusa juga, lu nggak mau denger."

Nathan membuang muka. "Gue nggak minat ngelakuin apa pun."

"Seriusanlah!" Fanny mulai marah. "Lu depresi kayak gini hanya gara-gara cewek? Gue aja nggak separah lu waktu putus dari pacar-pacar gue."

"Itu karena lu nggak peduli sama pacar-pacar lu. Lu pacaran sama mereka dengan setengah hati doang." Nathan berusaha bangkit duduk, tapi sekujur tubuhnya terasa sangat sakit hanya dengan bergerak sedikit. Tampaknya ia benar-benar sakit.

"Ya, betul! Gue emang pacaran setengah hati, tapi terus kenapa? Gue nggak mau sampai jadi kayak lu begini." Fanny menarik napas dalam-dalam untuk menahan emosinya yang bangkit. "Tolong ya, Nate. Elsa udah pergi. Lupain aja, oke? Udah seminggu. Kita semua udah berusaha sabar kasih waktu ke lu buat bersedih. Tapi udah dong. Tiga hari lagi lu udah masuk sekolah. Masa lu mau kayak gini terus? Dunia bakal tetep berjalan walau lu patah hati. Sadar! Sadar! Masih banyak cewek lain di dunia ini."

"Ah, diemlah. Nasehat kayak gitu udah basi kali. Gue nggak mau denger."

"Dasar keras kepala!" Fanny memaki sebelum berjalan keluar kamar sambil menghentak-hentakkan kakinya jengkel.

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now