20

185 9 0
                                    

"Dari kemarin dia cuma ngurung diri kayak gitu. Tiduran, menerawang nggak tau liat apa. Dia bahkan nggak mau nyentuh makanannya," kata Fanny pelan.

Vicky mengerutkan dahinya. Ia sama sekali tidak menyangka. Setelah berminggu-minggu ia menghindar dari Nathan dan menjilat luka hatinya sendiri, ia malah menemukan ini. Ia merasa sudah yakin bisa mengatasi kesedihannya. Itu sebabnya ia ingin bertemu Nathan dan mengatakan bahwa tidak ada hutang di antara mereka berdua.

Tapi ia tidak menyangka yang ditemukannya adalah seorang cowok patah hati yang sedang depresi.

"Gue boleh ketemu dia kan?" tanya Vicky.

Fanny menoleh ke arah Rosie di sebelahnya. "Boleh aja. Tapi Nate bener-bener kacau."

"Nggak apa-apa."

"Ya, sudah. Kita tinggalin lu berdua," kata Fanny. "Gue harap lu bisa bujuk dia makan. Gue udah capek ngebujukin dia semalaman kemarin."

Vicky hanya mengangguk. Setelah Rosie dan Fanny menghilang ke lantai bawah, ia membuka pintu kamar mantan pacarnya itu perlahan.

Nathan sedang berbaring memeluk guling membelakanginya. Sikap tubuhnya terlihat tenang seperti sedang tidur.

"Nate...," panggilnya lirih seraya mendekati cowok itu hati-hati setelah menutup pintu.

"Udah gue bilang tinggalin gue sendiri, Fan," ujar Nathan serak dengan nada jengkel.

"Aku bukan Fanny. Aku Vicky," katanya masih belum bisa menghilangkan kebiasaannya tidak menggunakan "gue-lu" dengan Nathan.

Nathan berbalik menghadapnya. Ia mengerang dan langsung menutup matanya dengan salah satu lengannya. "Kenapa kau ke sini, Vic?" tanyanya tanpa membuka matanya.

"Untuk jenguk kamu. Biasanya kan juga begitu. Aku selalu datang ke rumah kamu setiap beberapa hari sekali."

"Please... jangan bicara soal itu. Aku masih merasa bersalah padamu. Tapi aku sedang tidak bisa berbaik hati sekarang. I feel like hell."

Vicky melihat piring makanan di atas meja nakas di samping tempat tidur Nathan. Penuh dan tak tersentuh. "Tentu saja kau merasa tidak enak. Kau bahkan belum makan dari kemarin pagi."

"Aku tidak lapar." Nathan masih belum menyingkirkan tangannya di atas kedua matanya.

"Nggak mungkin. Kau selalu lapar."

Nathan tertawa sinis. "Ya, kau benar. Hebat sekali aku bisa tidak merasa lapar sekarang. Aku ingin... Berani-beraninya dia pergi tanpa pamit."

Vicky menggigit bibirnya. Ia bisa merasakan kesedihan Nathan dan ia cemburu. Kenapa bukan dirinya yang dicintai cowok ini? "Kau sesedih itu karena ditinggal dia?"

Nathan tidak langsung menjawab. Perlahan ia mengangkat tangannya. Ia membuka matanya dan menatap Vicky yang berdiri di samping ranjangnya. "Aku tidak sedih," geramnya. "Aku hanya marah."

Vicky tersenyum. "Kau tidak terlihat seperti orang marah. Kau lebih terlihat seperti orang depresi."

Nathan membuang muka. "Terserah."

"Jangan menyakiti dirimu seperti, Nate. Kau harus makan. Lihat. Wajahmu pucat begitu. Kau kan cepat sakit. Seharusnya kau menjaga kesehatanmu."

"Menjaga kesehatan?" Nathan tertawa terbahak-bahak saat teringat pesan yang dikatakan Elsa di Lembang malam itu. "Untuk apa? Aku lebih memilih sakit supaya aku bisa melupakan rasa pedih ini. Lambungku yang sakit dan kepalaku yang pusing membuatku bisa mengabaikan rasa sakit lainnya yang lebih parah." Ia menoleh menatap Vicky. "Hatiku sakit, Vic. Sakit luar biasa sampai aku ingin menyiksa diriku sendiri."

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now