Di pagi hari Natal, rumah keluarga Jurnadi terasa lebih sibuk dan meriah dibandingkan biasanya. Seluruh anggota keluarga saling bertukar hadiah sebagai tradisi merayakan hari raya itu.
Dan Nathan sudah menyiapkan sesuatu untuk Elsa.
"Apa ini?" Elsa mengernyit saat menerima sekotak kado dari cowok itu.
"Ini kan Natal. Saatnya berbagi hadiah. Jadi, kau tidak bisa menolak atau merasa nggak enak karena aku mau kasih kamu kado," cerocos Nathan.
Elsa menyipitkan matanya, tapi ia tidak berkata apa-apa.
"Bukalah."
Patuh, Elsa membuka kotak merah yang diikat oleh pita hijau itu. Di dalamnya ternyata berisi sebuah gaun berwarna kuning gading dengan corak sulaman di bagian bawahnya. "Astaga, Nathan. Aku..."
"Aku tidak begitu pintar soal fashion. Tapi... aku ingat kau suka warna kuning jadi kubeli saja."
Elsa hampir saja menangis karena terharu. "Thanks ya. Tapi, aku tidak menyiapkan apa-apa untukmu."
"Ah, tidak perlu. Aku cuma mau satu hal."
"Apa saja. Kau hanya perlu minta," ujar Elsa cepat.
Nathan nyengir jail. "Nggak susah kok. Aku mau minta ciuman sekali saja."
"Oh." Malu-malu Elsa berjinjit dan mengecup pipi cowok itu.
"Ciuman apaan itu?" protes Nathan.
"Memangnya kau mau yang bagaimana?" Elsa pura-pura bertanya. Ia jelas tahu apa mau Nathan. Tidak susah menebaknya karena ia tahu Nathan adalah tipe orang yang tidak bisa diam kalau pacaran. Cowok itu senang bermesraan, sampai-sampai ia suka malu sendiri karena takut tepergok. Nathan juga suka lupa tempat kalau ingin menciumnya.
Tahu kalau Elsa hanya pura-pura tidak mengerti, Nathan pun menggeram gemas dan langsung menariknya mendekat. Ia mencium bibir Elsa lama sampai gadis itu kehabisan napas.
"Nah, begitu maksudnya." Nathan terkekeh.
"Ya, aku tahu itu," gerutu Elsa dengan pipi semerah tomat.
Nathan tersenyum makin lebar.
Tiba-tiba terdengar ribut-ribut dari arah depan.
"Ada apa itu?" Elsa spontan bertanya.
"Tampaknya nenekku sudah datang."
"Nenekmu?"
"Iya. Katanya, dia bakal datang hari ini."
"Oh. Kalau begitu, kau harus menyapanya. Sana."
"Oke, sebentar ya."
Nathan baru saja akan beranjak pergi, saat Elsa memanggil namanya. Ia berhenti dan berbalik.
"Makasih sekali lagi ya buat kadonya."
Nathan mendengus. "Nggak ada makasih-makasihan, oke?"
Elsa tertawa. "Oke."
Lalu Nathan pun berlalu.
Elsa yang penasaran mencari tempat persembunyian untuk mengintip. Ia ingin tahu seperti apa nenek Nathan.
Ternyata nenek Nathan yang bernama Hera itu berwajah sangat serius. Tubuhnya montok khas orang tua. Gerakannya gesit dan kelihatan masih bersemangat. Kacamata besarnya bertengger melorot di hidungnya.
Elsa jadi teringat pada neneknya sendiri. Kesedihan menusuk hatinya sesaat, rasa kehilangan yang sudah sangat akrab baginya. Tapi ia tersenyum dalam hati. Setidaknya hidupnya tidak buruk-buruk amat sekarang. Ia punya Nathan dan ia harus bersyukur untuk itu.
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...