"Elsa, kau mau menikah denganku?"
Elsa menjatuhkan sendoknya hingga berdentang keras di atas piring makannya. Ia menatap Paul terbelalak. "Apa?"
Wajah Paul tetap datar seperti biasa. "Itu hanya usul. Kita sudah saling kenal cukup lama. Kita juga punya ambisi dan tujuan hidup yang sama. Hubungan kita bahkan lebih baik dibandingkan suami istri lain yang kutemui. Kenapa tidak sekalian saja mengesahkan semuanya dengan pernikahan? Selamanya kita akan selalu bersama."
Elsa mengerutkan dahinya. "Kenapa tiba-tiba kau bicara soal ini?"
Paul tersenyum masam. "Aku juga tidak tahu. Akhir-akhir ini aku berpikir soal kehidupan berkeluarga, punya anak, dan semacamnya."
"Kau bisa mencari wanita manapun, Paul. Mereka pasti mau denganmu," kata Elsa biasa saja. Mereka tidak tampak seperti sedang membicarakan lamaran pernikahan, tapi lebih seperti percakapan tawar-menawar di dalam bisnis yang biasa mereka lakukan.
"Aku tidak percaya pada mereka. Dan aku tidak punya waktu untuk mengenal mereka ataupun bermanis-manis ria mengejar mereka," ujar Paul sambil melipat tangan di atas meja makan. "Lagipula kau jauh lebih baik dibandingkan semua wanita yang pernah kutemui. Aku lebih nyaman jika menikah denganmu."
Elsa menunduk. Ia tidak tahu bagaimana menjawab hal ini. Ia sangat terkejut dan tidak bisa langsung menolak Paul begitu saja.
Melihat keraguan Elsa, Paul langsung berkata, "Kurasa ini usul yang masuk akal, Elsa. Aku tahu kau masih mencintai laki-laki masa lalumu itu. Aku mengerti kalau kau tidak akan pernah mencintai laki-laki manapun sama seperti aku tidak akan pernah mencintai wanita manapun. Jadi, kita seimbang. Kita saling memahami. Aku juga tidak bakal memaksamu ataupun menyiksamu. Lagipula kau tidak mungkin terus sendirian menunggu laki-laki itu datang. Bisa saja dia sudah melupakanmu."
Bisa saja dia sudah melupakanmu...
Elsa menghela napas dalam-dalam sebelum menatap Paul lagi. "Kurasa ini semacam pernikahan atas dasar kenyamanan kan?"
Paul mengangguk. "Tentu saja."
Elsa masih ingin menolak, tapi tawaran Paul terasa menjanjikan. Lagipula pernikahan ini tidak menuntut apa-apa darinya. Ia bisa membayangkan kalau semuanya akan sama saja dengan kehidupannya yang sekarang. Hanya statusnya saja yang berbeda.
Masuk akal, bagus, menguntungkan, dan aman. Lagipula Nathan adalah masa lalu. Ia tidak mungkin terus-terusan hidup dengan ilusi masa lalunya kan? Logisnya, ia menerima tawaran ini.
Akhirnya Elsa mengangguk. "Kurasa kau benar. Ini usul yang bagus. Aku setuju."
"Baguslah. Kau urus saja pernikahannya. Tidak perlu terlalu mewah atau bagaimana. Aku ingin semuanya singkat saja supaya kita bisa langsung kembali ke rutinitas kita setelahnya," kata Paul praktis.
"Oke. Aku akan menghubungi wedding organizer besok," ujar Elsa tenang. Ia memang bukan orang romantis yang mendambakan pernikahan ala dongeng. Sederhana saja. Lagipula yang penting bukan satu hari pernikahan itu, tapi berjuta-juta hari setelahnya.
"Permisi, Tuan, Nyonya..."
Paul dan Elsa menoleh ke arah pembantu mereka, seorang wanita di awal empat puluhan dengan rambut pendek dan wajah keibuan. Darsih sudah bekerja cukup lama untuk mereka, dimulai sejak Elsa melepaskan pekerjaannya sebagai pembantu dan membantu Paul di perusahaan. Wanita itu gesit dan tidak banyak bertanya. Kalaupun ia penasaran dengan hubungan aneh dan dingin di antara kedua majikannya, ia tidak pernah terdengar berkomentar ataupun bergosip di belakang mereka. Kerjaannya bagus dan efisien sehingga Paul membayar mahal wanita itu.
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...