36

136 5 0
                                    

Nathan mengajak Elsa jalan-jalan di taman hotel. Ia tidak mau pembicaraan mereka terganggu oleh urusan pekerjaan wanita itu.

"Kita duduk saja di situ," tunjuk Nathan ke arah bangku kayu di area paling sepi dari taman itu.

Elsa mengangguk dan langsung duduk. Dari tadi mereka sama sekali tidak bicara. Tapi ia sendiri juga tidak tahu harus ngomong apa. Nathan memang tidak marah-marah seperti kemarin lagi. Namun sikap diam pria itu sekarang malah membuatnya cemas tidak keruan.

Nathan bersandar di bangku kayu itu sambil menatap ke arah bunga-bunga dan tanaman di sekitarnya. Setelah puas, ia pun menoleh ke sosok di sebelahnya. Elsa sedang menunduk menatap tangannya sendiri. Sikap duduk Elsa begitu kaku dan tegang hingga membuatnya ingin memeluk wanita itu, meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja.

"Setelah kau pergi waktu itu... kau ke mana?"

Elsa tidak langsung menjawab. Ia memeluk dirinya sendiri seakan kedinginan. Katanya, "Aku tidak ke mana-mana. Aku hanya berjalan tanpa tujuan."

"Lalu kau bertemu Paul," sambung Nathan saat menyadari Elsa tidak melanjutkan kata-katanya.

Elsa melemparkan tatapan menerawang jauh ke depannya. "Ya. Mungkin itu keberuntungan bagiku. Aku menyelamatkannya saat ia hampir tertabrak mobil," katanya. Ia menyembunyikan keinginan Paul untuk bunuh diri. "Aku membawanya ke rumah sakit. Dia... menawarkan tempat tinggal padaku sebagai ucapan terima kasihnya. Aku langsung menerimanya tanpa pikir panjang. Aku bahkan memintanya untuk membiarkanku tinggal di rumahnya untuk waktu yang lama dan sebagai balasan... aku akan bekerja sebagai pembantunya tanpa dibayar."

Entah kenapa Nathan merasa sedih hanya dengan mendengar cerita itu. "Setelah itu? Kau langsung bekerja di perusahaannya?"

"Tidak langsung seperti itu," kata Elsa masih tetap menatap ke kejauhan. Ia tersenyum penuh kenangan. "Suatu hari dia menawarkan diri untuk membayariku sekolah. Ia membantuku membuat akte lahir dan mendaftarkanku ke sekolah. Tapi aku masih harus tetap menjadi pembantu baginya. Setelah lulus SMA, aku diajak ke perusahaannya. Waktu itu, perusahaan peternakan Paul masih kecil. Aku diajari bagaimana mengurus manajemen perusahaannya. Selain itu, ia juga menyuruhku untuk kuliah. Yah... setelah itu kau tahu sendiri. Paul semakin sukses dan aku terus naik pangkat sampai akhirnya aku dipercaya penuh untuk mengurus hotel ini."

Setidaknya nasib Elsa tidak seburuk yang dikiranya. "Apakah Paul... orang yang baik?"

"Tentu saja. Dia adalah teman, orangtua, kakak, dan juga waliku. Dia selalu membantu dan melindungiku. Orangnya pendiam dan tidak banyak komentar. Kebanyakan orang menganggap Paul dingin dan tak berperasaan, tapi kalau kau sudah mengenalnya... sebenarnya Paul sangat care sama orang-orang yang disayanginya."

"Kelihatannya kau sangat mengaguminya," ujar Nathan dengan sedikit sentakan rasa cemburu.

Kali ini Elsa menoleh ke arah Nathan sebentar sebelum melihat ke arah lain lagi. "Aku sangat sayang padanya. Seperti yang sudah kukatakan padamu. Aku berutang budi banyak sekali padanya. Tidak banyak orang yang mau menolong orang asing tanpa pernah meminta imbalan sedikit pun. Aku adalah orang asing bagi Paul dulu. Tapi dia tetap mau menolongku."

"Jadi, itu sebabnya kau menerima lamarannya sekalipun kau tidak mencintainya."

"Mungkin," ucap Elsa. "Tapi saat aku menerima lamarannya aku sama sekali tidak berpikir apa pun. Aku hanya menganggap pernikahan itu masuk akal. Kami sudah terbiasa bersama dan kenapa tidak sekalian menikah saja?"

"Apa... dia mencintaimu?"

Untuk sejenak, Elsa memikirkan pertanyaan itu. "Aku tidak tahu. Paul bukan jenis orang yang bisa mengungkapkan cinta."

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now