Elsa sudah siap. Semua barangnya sudah dimasukkan ke dalam tas. Ia memang tidak punya banyak barang sehingga proses beres-beres itu berlangsung cepat.
Jam setengah lima ia turun ke bawah. Lumayan, ia sempat beristirahat sebentar walaupun sepanjang malam ia hanya berbaring nyalang meratapi nasibnya sendiri.
Di dapur ternyata sudah ada Yanti yang sedang memasak. Ia terkejut melihat pembantu itu karena ia sudah bangun lebih pagi dari biasanya. Tapi anehnya, ia tetap dikalahkan oleh Yanti.
Mendengar suara di belakangnya, Yanti menoleh. Ia membelalak. "Elsa? Kenapa kau bawa tas segala?"
Ia memang belum bilang akan pergi pada siapa pun. Tapi ia sudah memutuskan untuk pergi tanpa pamit. Ia menelan ludah tak menjawab.
Yanti mematikan kompor dan menghampirinya. "Kau... kau akan pergi?"
"Ya, Yanti. Aku memang akan pergi."
"Aku tidak mengerti. Apa ada yang salah dari─"
"Tidak ada yang salah." Elsa menggeleng-geleng. "Tidak ada yang salah. Aku hanya harus pergi."
"Kenapa kau tidak bilang-bilang padaku soal ini?"
"Aku..." Aku ingin menghilang tanpa jejak... Tapi yang dikatakannya, "Aku tidak sanggup berpamitan."
Yanti berkedip tidak percaya. "Kau bermaksud untuk tidak kembali lagi?"
Dengan berat hati, Elsa mengangguk.
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa memberitahukan alasannya. Aku tetap harus pergi."
Yanti tersenyum penuh pengertian. "Kalau kau memang harus pergi, aku tidak akan bertanya-tanya lagi."
"Makasih, Yanti."
Suara langkah kaki terdengar mendekati mereka.
Ternyata Rini yang muncul di ujung tangga. "Oh, kau belum pergi. Untung saja aku belum terlambat," katanya.
"Hei, Rin. Aku pamit dulu ya."
Rini mulai menangis. "Kau tidak harus pergi." Ia menghambur memeluk Elsa.
Elsa menjatuhkan tasnya dan menepuk-nepuk pundak Rini yang sedang tersedu-sedu. Tanpa bisa ditahan, air matanya juga turun. "Tidak apa-apa, Rin. Sudah, sudah. Kok kau yang malah nangis begini?"
"Aku tidak terima ini," isak Rini.
Elsa melepaskan diri dari pelukan Rini. Ia menghapus air mata di wajah temannya itu. "Kau harus tabah," ujarnya. "Dan kau harus menepati janjimu ya. Jangan malas-malasan lagi. Kerja yang benar."
"Oke," ucap Rini dengan suara pecah oleh tangis. Sorot matanya yang biasa selalu bodoh dan kekanak-kanakan berubah. Ada kedewasaan yang mulai muncul di sana akibat pengetahuan tentang sebuah ketidakadilan yang dialami temannya.
Yanti menangis melihat pemandangan di depannya. "Elsa..."
Elsa menoleh ke arah Yanti dan langsung memeluk juru masak tua itu. Tangisnya meledak. "Yanti, aku pasti merindukanmu," ucapnya sedikit terbata-bata di antara isaknya.
"Aku juga. Aku juga. Kenapa kau harus pergi secepat ini, Elsa?"
Elsa tidak menjawab. Karena apa yang harus dikatakannya?
Lalu seseorang memanggil namanya.
Elsa melepaskan diri dari Yanti dan berbalik. Ia menemukan Nenek Hera berdiri tidak jauh dari sana. Raut wajah nenek itu tampak tak terbaca walau matanya terlihat berkaca-kaca.
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...