37

129 8 0
                                    

"Gue rasa gue lagi di ambang kegilaan," kata Nathan.

Komentar itu membuat Josh mengernyit. Ia mengetuk-ngetukkan kelima jari tangan kanannya di atas meja. Ia mendesah keras sebelum menanggapi, "Elsa mungkin bener-bener punya alasan yang bagus buat nolak lu."

Mereka sedang berada di ruang kerja rumah Josh. Nathan sengaja datang ke rumah sahabatnya itu untuk ngobrol dan bertukar kabar seperti biasanya.

"Mungkin," ucap Nathan gemas. "Tapi gue nggak tau apa itu. Dan itu bikin gue stres."

Josh menunduk menatap kertas-kertas kerjanya di atas meja sambil sedikit melamun. Lalu ia berkata pelan, "Lu bener-bener nggak bisa ngerelain dia, Nate?"

"Hah?"

Josh menatap sahabatnya tidak enak. "Di saat-saat kayak gini, kesempatan lu untuk dapetin dia udah habis. Mungkin lu berdua emang nggak berjodoh."

"Lu nggak denger apa kata gue tadi?" tanya Nathan jengkel. "Dia masih punya rasa ke gue."

"Iya, gue tau. Tapi kalau dia sampai berkali-kali nolak lu, itu berarti alasannya kuat. Dan dia nggak mau kasih tau lu karena pasti ada maksudnya. Mungkin... Elsa memang bukan buat lu."

"Bah!"

"Sorry, cuy. Tapi ini udah dua belas tahun. Apa lu nggak ngerasa itu terlalu lama buat nunggu satu cewek doang?"

"Dia bukan hanya 'satu cewek doang' buat gue. Dia segala-segalanya buat gue."

Josh tersenyum muram. "Gue ngerti, Nate. Tapi.. Kecuali lu bisa maksa Elsa dan bawa dia kabur dari pernikahannya, lu mungkin nggak punya pilihan lain lagi selain nerima kenyataannya. Dia akan menikah dengan laki-laki lain."

"I'm definitely doomed, rite?"

"I'm afraid you are."

Nathan mengembuskan napas panjang. "Sebenernya gue udah takut lu bakal bilang kayak gitu. Bahkan gue yang udah hampir gila aja sadar kalau emang udah nggak ada jalan lain lagi selain menyerah," katanya penuh sesal.

"Gue berharap bisa bantu lu, Nate. Gue pengen akhirnya lu nemuin kebahagiaan lu sendiri. Tapi kok rasanya lu sial mulu ya?"

Nathan tertawa penuh ironi.

"Akan selalu ada cewek lain di dunia ini."

"Yeah, right. Gue rasa gue bakal jadi biksu atau biarawan aja deh. Gue nggak yakin bisa jatuh cinta lagi sama cewek manapun."

"Itu ide yang nggak jelek sih. Lumayan, lu bisa menebus dosa lu yang udah numpuk dari dulu."

"Sialan!"

Josh terkekeh. Ia melirik ke arah jam tangannya. "Udah jam tiga. Gue harus bangunin anak-anak buat mandi."

"Hari ini giliran lu jaga anak?"

"Yup."

"Lu sama istri lu emang antik. Ngejaga anak sendiri kok pake acara giliran segala."

"Abis gimana? Istri gue kudu kerja dan ngajar di sekolah musik. Gue kan bisa kerja di rumah. Tadinya gue udah nyuruh dia untuk nggak usah pusing. Kerja ya, kerja aja. Biar gue yang jaga anak tiap pagi sampe sore. Tapi dia kagak mau. Takut dikira ibu yang nggak bertanggung jawab, katanya."

Nathan tertawa. "Ada-ada aja. Jadi, lu sekarang mengurus toko online alat tulismu secara penuh?"

Josh mengangguk. "Bagi tugas sama istri gue. Dia jauh lebih suka dengan sekolah musik dibanding gue. Lagian gue buta nada."

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now