Lanjutan....
Kau segera mengusap air matamu. Mencoba untuk tenang agar dapat berpikir jernih. Kau mengemas semua barangmu, menyambar jaket dan topimu. Tidak lupa juga kau mengemas semua barang kekasihmu, termasuk laptopnya menjadi satu ke dalam ransel besarmu. Kau beranjak keluar dari kamar dengan langkah terburu-buru. Kau membiarkan kartu kunci kamar tertinggal di dalam tanpa melakukan checkout di resepsionis. Kau segera masuk ke lift untuk turun dari lantai tujuh ini.
Saat kau akan memasuki lift, kau berpapasan dengan dua orang pria bertubuh besar dan berperawakan gempal yang mengenakan jaket hitam. Mereka berjalan dengan langkah yang lebar. Kau sempat tertabrak tubuh kokoh mereka, namun untungnya kau bisa menghindari. Dan mereka pun meminta maaf.
"Maafkan aku, aku tidak sengaja." Ucapnya dengan sopan.
Kau hanya mengangguk memaafkan karena mulutmu terbungkam masker. Sehingga kau enggan membuka mulutmu untuk berbicara.
Sebelum pintu lift benar-benar tertutup. Kau mendengar mereka menyebutkan sesuatu yang tidak asing bagimu.
"Kamar 715. Cepatlah kita harus segera mendapatkan serigala kecil itu!" Sergah pria besar berkulit kecoklatan itu pada pria lainnya.
Kau kaget dan terbelalak dengan apa yang baru saja kau dengar dari mulut pria itu. Kau ingin berteriak dalam keterkejutanmu itu, namun kau membungkam mulutmu agar pria-pria itu tidak mencurigai keberadaanmu. Nomor kamar itu adalah nomor kamarmu bersama Jimin. Berarti yang dicari oleh kedua pria besar itu adalah Jimin atau kau sendiri. Kau memencet-mencet tombol lift untuk ke lantai dasar. Meskipun kau tahu bahwa hal itu tidak mempengaruhi kecepatan lift untuk turun. Semata-mata hanya untuk melampiaskan kepanikanmu.
Sesampainya di lantai dasar, kau berjalan cepat tanpa berlari. Menghindari kecurigaan orang terhadap dirimu yang tidak tahu harus berbuat apa dan tidak mengerti apa-apa tentang urusan ini. Kau hanya perlu menghindari dua pria menakutkan tadi. Bisa jadi kedua pria itu ingin membunuhmu dengan tangan kekarnya yang penuh otot itu. Kau yang belum pernah mengalami hal seperti ini hanya ingin menangis di pangkuan eommamu seperti waktu kecil dulu.
Sesekali kau menoleh ke belakang, memastikan bahwa kedua pria itu tidak lagi mengikutimu. Setelah semua keadaan sudah agak tenang, kau memutuskan untuk memanggil taksi dan pergi. Kau masih bingung hendak pergi ke mana. Karena kau sendiri tidak berani pulang ke rumahmu dan pada akhirnya akan melibatkan kedua orang tuamu dalam masalah yang menurutmu membahayakan ini.
"Anda ingin pergi ke mana?" Sang sopir taksi menanyaimu.
Kau tidak mampu menjawab secara langsung karena bingung akan tujuanmu. Kau masih berpikir dan hanya bergumam tidak jelas, berbicara dengan dirimu sendiri yang tidak bisa dimengerti oleh sopir taksi tersebut. Lalu kau teringat akan sahabatmu yang telah pindah ke kota sebelah.
"Ke Incheon saja."
Seketika itu sopir taksi tersebut langsung menancap gas setelah awalnya mengemudikan mobilnya dengan perlahan. Kau masih menyempatkan diri untuk menengok ke belakang. Apakah masih ada orang yang membuntutimu atau tidak. Kau melihat tidak ada kendaraan yang mencurigakan di belakang mobil taksi yang kau tumpangi. Hal itu membuatmu sedikit lega.
Tiba-tiba sebuah panggilan telepon dari nomor yang disembunyikan mengejutkanmu sekali lagi. Kau kaget untuk sesaat, namun pikiranmu langsung melayang ke Jimin. Sehingga kau merasa sedikit tentram.
"Yaak, Y/n-ah. Kau mau pergi ke mana?!" Serunya dari dalam lubang suara ponselmu.
"Dari mana kau tahu aku sedang naik taksi dan akan pergi?" Tanyamu heran pada Jimin yang tahu segalanya seperti Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangtan Short Stories
FanfictionBagaimana rasanya jika kau menjadi bagian dari hidup mereka? Suka, senang, bahagia, terharu, hingga sedih dan memilukan.. Simak ceritanya..