Lanjutan...
Mihwa tidak mengira kalau sekarang ia berhadapan dengan pemuda yang ia cintai dari dulu. Seorang namja yang mampu meluluhkan hati Sang Putri, meskipun Mihwa tak pernah mengenalnya, bahkan namanya saja belum tahu. Yang ia tahu, Mihwa jatuh hati karena mengaguminya.
Beberapa tahun lalu saat Mihwa sedang belajar berpedang bersama para prajurit dan panglima perang, datanglah seorang pemuda dari desa yang berpenampilan sangat sederhana meminta ijin untuk ikut bergabung dalam latihan berpedang. Meskipun telah dilarang oleh para prajurit, namun ia tetap bersikukuh untuk ikut. Tapi karena kemurahan hati Sang Putri, ia diijinkan untuk ikut bertarung.
Semula semua orang menertawakan kepercayaan dirinya yang ingin menantang para prajurit Kyungdae. Namun semua itu berubah dalam sekejap seperti membalikkan telapak tangan. Para prajurit semua dibuatnya menyerah mundur dalam pertarungan pedang itu. Lantas Sang Panglima menjadi geram karena merasa pasukannya dipermalukan sehingga dia sendiri yang turun melawan namja rupawan itu. Pertarungan menjadi sangat sengit antara namja yang tak tahu asal-usulnya dengan panglima perang Kyungdae. Hingga pada akhirnya kedua belah pihak sama-sama mendapatkan goresan luka di lengannya. Dengan begitu pertarungan dihentikan oleh Putri Mihwa. Sang Putri menanyakan identitas dan latar belakangnya, dan ia hanya menjawab dengan napas terengah-engah,
"Aku tidak lebih dari pemuda desa yang miskin."
Kemudian ia berpamit undur diri dan memberi penghormatan pada putri dan panglima. Namun sebelumnya Mihwa sempat memberikan pertanyaan padanya,
"Mengapa kau tidak bergabung dalam pasukan Kyungdae?"
Ia hanya tersenyum dan menggeleng, lalu dengan segera ia menghilang dari kerumunan.
Teringat akan hal itu, Mihwa menjadi bahagia kini melihatnya kembali, namun terbesit pula kekhawatiran jikalau ternyata ia merupakan orang bengis dan durjana yang menyalahgunakan kepiawaiannya dalam berpedang.
"Apa katamu?! Aku membantumu mengangkut kayu-kayu ini agar pekerjaan pamanku cepat selesai." Ujarnya mendengus kesal, " Aku memang miskin, tapi aku tak akan bertindak sehina itu." Lanjutnya kemudian meneruskan langkah terhuyung-huyungnya karena beban berat yang ia panggul.
Mihwa membuntutinya dari balik punggungnya. Dan rupanya benar, ahjussi majikan Sang Putri menyambut dengan baik kedatangannya. Seiring berjalannya waktu, keterpurukan Mihwa terlupakan. Kini ia memiliki teman penghapus kepiluan batin yang menemaninya sehari-hari. Namja yang bernama Park Jimin itu tidak segan berbagi cerita dan pengalamannya pada Mihwa, termasuk juga pengalamannya saat bertarung dalam latihan berpedang Kyungdae. Meskipun hingga detik ini, Jimin mengenal Mihwa sebagai Nayeon, gadis pengembara yang selalu menutupi wajahnya.
"Dasar namja polos." Komentar Mihwa dalam hati.
Di setiap malam, Mihwa merenung menatap rembulan, meratapi nasibnya yang masih menjadi orang terasing dan bersembunyi di balik tudung kepala serta cadarnya. Tanpa diperintah air matanya selalu terberai saat ia mengenang kehidupan lampaunya. Akankah selama sisa hidupnya menjadi seperti ini? Yang ia rindukan bukanlah jabatan, kekuasaan, dan harta kekayaannya. Kasih sayang tulus keluarga dan orang-orang terdekatnya yang ia dambakan saat ini.
Ia pun kerap bingung dengan apa yang harus dilakukan. Dia teringat dengan perkataan Raja Chan bila ingin sembuh dari kutukan ini. Kembali ke istana Wattanaukrit dan menjadi istri kesembilannya, ataukah mencari seseorang yang menyakiti sekaligus mencintai dengan tulus. Adakah orang yang demikian? Mungkin bila orang yang menyakiti saja sangat banyak, tapi yang mencintainya sekaligus? Adakah?
Di kesunyian malam pinggir hutan itu, ia duduk di atas batu besar dan lebar. Hanya berteman dengan suara-suara hewan malam yang mampu memecahkan keheningan. Ia lalu mengambil sebilah pedangnya yang selama ini ia bungkus dengan sarung pedang serta kain kumal. Dielusnya gagang pedang yang bersematkan tiga bongkah berlian dan berlapis perak itu. Mengobati kerinduan di kala teringat saat berlatih dan belajar di istana. Mengingat betapa perkasanya dirinya saat itu. Yang akhirnya dapat hampir mengalahkan panglima perang dalam berpedang. Dikatakan hampir mengalahkan karena Mihwa tidak mau panglima perang merasa malu di hadapan para prajurit lantaran panglima yang gagah perkasa itu tidak dapat mengalahkan seorang gadis yang baru saja mahir bertarung pedang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangtan Short Stories
FanfictionBagaimana rasanya jika kau menjadi bagian dari hidup mereka? Suka, senang, bahagia, terharu, hingga sedih dan memilukan.. Simak ceritanya..