11 - Hukuman Lagi.

1K 32 3
                                    

Aku dan Gibran dibawa menuju ruang persidangan yaitu ruang kepsek.

Sebandel-bandelnya aku, baru kali ini masalah dibawa ke ruang kepsek dan digiring ramai-ramai.

Benar-bener dibuat malu.

"Ada apa ini?" tanya kepala Sekolah.

Dia seperti tidak percaya bila melihat ke Gibran terus dipojoki bersalah. Kalau aku sih, udah gak aneh baginya.

Tapi, untuk kejadian ini, kepala sekolah harus lebih teliti, tidak langsung menyalahkan kami. Dia pun menyuruh sebagian masuk ke ruangan untuk dimintai klarifikasi.

Tuduhan terus menyertai sekeliling kami yang hanya bisa tertunduk diam, menyahut pun pinteran mereka, seenaknya memotong kalimat kami.

Kulirik Gibran, aku ingin sekali memeluk dia, mungkin mental aku masih lebih kuat, sekalipun dihina berbagai sebutan kotor oleh mereka. Aku bisa bodo amat karena aku pikir aku gak melakukan itu. Tapi tolong, jangan lakukan itu ke Gibran.

Aku gak tega, benar-benar gak tega.

Keputusan kepala sekolah perpihak tidak yakin 100 persen, cuman karena mereka minta keadilan atas apa yang mereka lihat. Jadi kepala sekolah memberi kami skor.

Untukku ini adalah skor kesekian kalinya. Untuk Gibran ini adalah skor pertama kalinya.

Aku berjalan keluar. Kakiku yang biasanya gagah kemanapun aku mau, rasanya kehilangan tenaga.

Belum sampai pintu. Aku gak bisa membiarkan keputusan mereka di sana masih membahas masalahku ini dibawa ke orang tua.

Akhirnya aku berbalik badan sambil kutarik Gibran agar membantuku, tapi kenyataanya dia malah diam saja, kelihatan pucat.

"Pak kumohon jangan telepon orang tua. Bakalan kacau nanti," gerutuku begitu kelabakan.

Siapa yang nggak kelabakan, kalau sampai Mama tau aku kena sansi di sekolah. Abislah nanti aku jadi perbandingan sama anak tetangga.

Aku yang sibuk meminta penawaran kepada kepala sekola. Gibran justru memperkuat diamnya memandangi langit-langit atap, sesekali.

"Isstt! Iban. Kok kamu malah diem aja sih. Bantuin aku dong!" gumamku berbisik padanya sambil menepuk tangan dia tak menggubris.

"Gue nggak jago ngela, percuma, abisin energi aja harus mohon-mohon kaya gitu. Tapi apa kenyataanya? Tetep aja kita kalah," dia mantap menatapku, bola mata malas dari Gibran sangat jelas dia pasrah dengan apa yang sudah terjadi.

Tapi masa baru begini aja dia nyerah. Apalagi masalahnya itu cuman isu belaka tuduhan bohong mereka saja. Kenapa Gibran menyerah? Apa Gibran benar-benar merasa dirinya, emang salah?

"Huhh!" aku membuang nafas berat lewat mulut.

Ada betulnya juga sih, nggak ada hasilnya sama sekali aku memohon sampai tersungkur dikakinya.

Sekian jam telah berlalu. Semua pun selesai dengan hasil yang penuh celaan melalui telingaku, disambut dari pagi hingga pulang sekolah yang kudengar hanyalah kata-kata yang menyakitkan.

Dibilang anak liar, dibilang udah gak suci, dibilang gak punya muka. Jelas-jelas Tuhan ciptain muka untuk aku cantik kaya gini. Mereka kali yang nggak punya mata hati. Asal nuduh orang saja.

Rasanya setiap langkah, aku kepengin makan manusia. Nggak bisa apa mereka jaga omongannya sama perasaan aku saat ini. Untung saja aku masih sabar meskipun emosiku akan ters menerus memuncak hingga ke kepala.

"Masih bisa makan ya? Kalau gue sih udah gak nafsu makan. Apalagi dapat masalah memalukan kaya gitu." Amel.

Dia datang, berdiri di sampingku yang tengah makan.

Ex StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang