8 - Khawatir.

1.7K 68 11
                                    

"Tempelin ke lutut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Tempelin ke lutut. Bukannya diminum bodoh!"

"Aus." Keluh Naomi.

Gibran mendengus berat, mengambil satu gelas air mineral beku, lagi, lalu ia balut dengan sapu tangan miliknya untuk kompres lutut Naomi agar memarnya cepat membaik.

Begitu maksudnya tadi. Kenapa malah dia minum sampe abis coba!

"Untung mereka gak tau. Kalau tau gue begini, pasti--"

"Nao! Lo kenapa?!"

"Jatuh dimana? Ini biru banget. Kok bisa?" panik Ina, Letta membuat Naomi banyak-banyak istigfar dalam hati.

Baru juga diomong makhluknya muncul serombongan.

"Gak apa-apa kok. Nanti mendingan."

"Biru begini. Gak mungkin gak apa-apa."

"Roman-romannya sih ini..."

Vinna melirik ke Gibran yang daritadi diam di samping Naomi menaruh curiga sangat yakin, perasaan Vinna pasti benar

"Nao kenapa Gibran?" tanya Letta, Gibran tak bersuara. Perlahan ia buka mulut tetapi Naomi begitu sigap menyekatnya.

"Gapapa. Gue bilangkan gue gak apa-apa. Gibran gak tau apa-apa. Dia cuman nolong gue aja."

Vinna mengerut kening. Sedangkan Gibran memutar mata jengah mendengar Naomi berkata bohong sama sekali gak ada faedahnya buat dia.

"Ini semua salah gue."

"Udah ketebak. Ayok Nao ke kelas." Vinna menyanggah ketiak Naomi. Dibawa pergi meninggalkan Gibran yang gak ikut, sekadar menontoni mereka di kejauhan saling bergotongan memandu Naomi jalan.

Setiba di anak tangga pertama Naomi agak kesulitan melangkah. Tapi Naomi gak boleh lemah. Kudu bisa! Harus bisa!

"Eh, eh!"

Panik mereka, replek memegangi tubuh Naomi sekuat tenaga hampir terjatuh jika Gibran tidak hadir menahan pundak Naomi di sana.

"Yang jagain itu diemnya di belakang bukan di depan."

Gibran mengambil alih. Membawa Naomi sampai ke kelasnya tanpa bantuan mereka. Dibalik rangkulan Gibran, Naomi tak banyak bicara selain menikmati pemandangan saat ia mendongat memperhatikan teduh mata Gibran kalau dibaluti ketulusan seperti ini, rasanya, hangat.

"Turun!"

Naomi perlahan menjatuhkan bokongnya ke kursi. Hembusan nafas sekali terbuang begitu lega.

"Makasih--Gibran,"

"Udahkan,"

Naomi mengangguk, yang lain hanya menemani Naomi di sekitar mejanya, melihat dua anak yang suka adu jotos agak heran bisa akur kayak tadi.

Ex StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang