10 - Angkot.

1.6K 57 0
                                    


Gibran di sudut tangga menggandeng bola basket, menyaksikan mereka berdua tanpa mereka ketahui keberadaannya ada di sana bersama Devan, Ciko juga Raihan.

"Berantem lagi mereka?" tanya Ciko sambil menggeleng. Sedangkan yang ditanya sekadar mendengus lalu berjalan meninggalkan pijakkannya. Dan berhenti tepat di antara mereka.

"Bisa gak. Jangan ngalangin jalan orang. Kalau mau berantem, noh. Di sono! Tengah lapangan. Biar yang nonton jadi enak, elu juga enak berantemnya, mau sambil tiduran kek. Bodo amat. Gak ngeganggu!" oceh Gibran beralih melihat ke Naomi yang tertunduk.

"Nao, gue mau-"

"Nao ada urusan, maaf."

Gibran mengernyit alis. Memperhatikan gerak tubuh Naomi pergi, tidak biasanya menang dia punya urusan diutamakan apalagi di saat Gibran yang bicara. Biasanya selalu mau dengerin, sekalipun itu hal menyakitkan.

"Gibran, gimana? Kamu berubah pikiran'kah?"

"Ayok guys, ke kelas!"

Tak peduli, Gibran tetap berjalan duluan disusul yang lain memasuki kelasnya yang sama.


*****


Seharian kemarin di sekolah.

Naomi benar-benar tidak menunjukkan dirinya seperti biasanya. Gibran sih gak merasa aneh, dan gak yakin juga Naomi bisa bertahan lama dengan urusannya. Hingga hari ini.

Menaiki angkutan umum.

Berdasarkan kamus penilaian manusia. Orang yang punya kedudukan di atas rata-rata sangat dipertanyakan bila gak punya kendaraan pribadi.

Tetapi berdesakkan di angkutan umum adalah hal biasa yang dialami seorang Gibran. Mau punya berapa banyak kendaraan di rumahnya, maupun ditawari supir pribadi untuk menghantar jemput dirinya. Gibran tetap mengabaikan semua fasilitas mewah itu.

Walaupun pun sudah ada surat-surat kepemilikan aset adalah miliknya dan selama itu bukan hasil keringat dirinya. Gibran gak pernah bangga punya apa-apa selama ini.

Dia lebih nyaman berangkat sendiri, jalan kaki dari rumah menuju tepi jalan mencari kendaraan umum yang melintas segera dia berhentikan.

Gibran lakuin ini guna dipandang manusia biasa, setiap berangkat sekolah dia rela sibuk berdesakan mencari tempat yang masih tersisa meskipun minim.

Tapi anehnya gak ada yang protes sempit walaupun Gibran duduk saling beradu bahu, mereka anteng-anteng saja.

Iyalah orang ganteng mana mau mereka nolak sekalipun duduknya bikin sesak juga, gapapa yang penting bisa kecium aroma harum parfum khas Gibran.

"Kak Gibran ya?" tanya wanita kecil di sebelah kirinya, Gibran menganguk sekali seraya memalingkan muka ke Pak Supir lagi.

"Mau tissu?" dia menunjukkan tempat tisu kecil ke arah Gibran.

Dia tau Gibran sudah dibanjiri keringat. Padahal Gibran selalu bawa sapu tangan digenggamannya. Sengaja buat elap keringatnya.

"Gak usah. Ada ini kok."

Dia menarik kembali tisunya. Dimasukkan ke dalam tas, tak lagi bertanya apapun.

Mobil berhenti saat penumpang meminta turun, dan di luar ada penumpang selanjutnya mau naik.

Bayangin. Udah desek-desekan gini masih saja nawarin penumpang baru untuk masuk.

Ex StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang