17 - Uring-Uringan.

1.6K 56 1
                                    

Menunggu.

Sebagian manusia tidak suka yang namanya menunggu. Tetapi Naomi justru sangat menyukai hal ini, mau berapa lama dia harus berdiri di gerbang sekolah, Naomi tidak peduli sakit di kakinya akibat berdiri kelamaan. Naomi tetap melakukan itu, hingga ia sumberingah saat yang ditunggu-tunggu pun hadir di hadapanya.

"Iban."

Khas Naomi. Meskipun dia tau siapa yang berdiri di sana. Pasti namanya selalu dia sebutkan.

"Mana buku gue?"

Gibran menadah tangan ke depan Naomi, bukannya dikembalikan buku milik Gibran. Dia malah cengar-cengir sambil menggaruk kepala bingung.

"Besok bolehkan dikembalikannya? Soalnya... Nao tadi gak diizinin ikut ulangan. Karena skor kita kemarin,"

"Kita?" Gibran memajukan wajah ke Naomi yang membeku kemudian mengangguk.

"Lu aja. Gak usah bawa-bawa gue. Balikin sekarang." Lanjut Gibran menarik kelapanya menjauh kembali, diganti uluran tangannya ke Naomi lagi.

"Nao belum selesai semua nyalinnya."

"Pinjem ke yang lain, jangan banyak alasan. Punya gue balikin sekarang."

"Tapi-"

"Balikin. Sekarang." Pertegas Gibran.

Naomi mendengus. Melepaskan satu sangkutan tali tasnya guna mengambil buku milik Gibran ada di dalam tasnya. Padahal Naomi masih pingin meluk buku dia semalam lagi. Tapi, Gibran maksa.

"Iban... sehari aja ya. Janji, besok Nao balikin."

Sungguh Naomi benar-benar gak rela buku dia dibalikin secepat ini. Gak cepet sih, udah 2 hari menginap di rumah Naomi, cumankan kurang.

Gibran mendengus. Jiwanya sangat malas berdebat sama anak satu ini, menghabiskan waktu gak penting buatnya ngadepin Naomi yang keras kepala gak ada obat.

"Besok. Balikin jam 5 pagi, lo harus udah ada di sekolah."

"Oke!" semangat Naomi, gak jadi bukunya ia ambil, ia kaitkan lagi tali tas ke bahunya.

"Sebab buku gue ada sama lu. Gue minta sama lu. Ulangan nanti, lu harus dapet nilai bagus dari biasanya. Gue gak mau tau." Kecam Gibran menganggukkan kepala Nao begitu bergairah semangat.

Gapapa deh urusan mau dapet nilai bagus atau enggak, itu urusannya belakangan, yang penting nyenengin hati Gibran saja dulu. Batin Naomi bergerutu riang.

Ya, sebenarnya Gibran gak mau memberi sayarat kayak gini, terkesan memaksa kemampuan daya pikir orang lain. Tetapi respon Naomi dijamin gak akan pernah ikut terpancing apapun tanggapan Gibran yang sedatar itu.

"Oke, Nao usahain, pake buku orang pinter, mudah-mudahan Nao ketularan."

"Gue gak pinter."

"Nilai Ibankan bagus semua Nao lihat. Itu artinya, pinter."

"Gak usah liat-liat nilai gue. Gue nyuruh lu nyalin, bukan kepo."

"Tapikan gak sengaja. Pas buka eh ada nilai. Dan pas buka lagi, eh ada kata-kata curhatan kamu di belakang."

Gibran terbelalak kaget. Sontak saja dia langsung merampas tali tas Naomi yang masih tersangkut di bahu dia, meronta.

"Balik buku gue kalau gitu!"

"Iya jangan. Jangan. Enggak. Nao gak baca kok cuman liat banyak tulisannya doang. Tapi Nao gak baca, Nao tau itu tulisan rahasia kamu. Gak berani Nao bacanya juga."

Ex StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang