27 : Boleh Gak Curiga?

778 40 4
                                    

Gibran menutup laptop milik Devan, setelah menyelesaikan ketikan di kalimat penutup, ia garis bawahi. Menandakan, kalimat itu adalah ucapan di hatinya. Pasti, Devan gak tau.

Devan cuman taunya semua tugas kelompok beres. Nanti, tinggal dia deh lanjutkan besok bagian presentasi di depan.

Gibran duduk di kursi milik Exan, karena kursinya dipakai Erica bersebelahan dengan Farhan. Posisi duduk mereka saling berhadapan di antara empat meja yang mereka satukan agar memanjang dan cukup untuk buku sebanyak ini ada di atas meja.

Kebetulan, Exan tidak mengerjakan tugas kelompoknya di kelas.

Karena jika ada dua kelompok mengerjakan tugas di kelas. Itu dilarang keras oleh pihak sekolah. Jamnya pun dibatasi. Hanya bisa dipakai 2 jam saja.

"Gue balik duluan ya," Farhan berdiri. Mengaitkan tali tasnya setelah dipastikan semua selesai. Tinggal dirinya mempersiapkan mental besok presentasi di depan.

Mau bagaimana pun, orang sepinter Farhan dalam bidang akuntan sekalipun, dia memang paling kalah soal berdiri di depan banyak orang. Belum apa-apa muka Farhan kelihatan banget tegangnya.

"Selow aja kali. Nih buat lu!"

Gibran memberikan sebungkus permen karet yang masih utuh dan lengkap jumlah isinya.

Bisa saja Gibran memberikan yang masih tersisa 3 lembar permen lagi. Tapi, Gibran sejak kecil di didik keras adabnya oleh Nenek dia. Kata Nenek, Bekas kita adalah milik kita. Yang masih kita inginkan jadilah milik orang lain. Itulah cara memberi yang baik.

Ya, pemahaman ini sekaligus saran dari Gibran untuk Farhan. Jikalau dia lagi tegang biasanya dia suka ngunyah permen karet. Ya, walaupun gak ngarus sih, tetap saja dia mengincar permen itu, supaya bisa ngalihin sugesti otanya ke rasa manis di mulut dia. Lebih agak netral.

"Makasih. Oiya. Lu jadi balik bareng gue?" Farhan mengalihkan tanya ke Erica.

"Gak tau," sahut Erica sambil mengechek hpnya, tidak ikut berdiri.

"Dih, buru. Gue udah gerah nih. Badan gue gak biasa jam segini belum mandi."

"Ck, sebentar." Erica terus mengetik hpnya. Lalu beralih bertanya ke Devan tengah mencatat hasil diskusinya barusan.

"Lu pulang bareng juga?"

"Enggak. Kalian duluan aja. Gue bareng Gibran aja."

Erica kembali menunduk, menyakukan hpnya. Kemudian berdiri menenteng tasnya ia dekap.

"Gue balik sama lu."

"Yaudah ayok. Daritadi gue tawarin juga."

"Ya... Kirain kita pulang bareng-bareng."

Gibran yang asik menikmati permen karet di mulutnya sekadar menontoni kedua temannya yang berdiri di depan dia. Tanpa berkomantar apapun selain mengunyah.

"Gue duluan ya!"

Gibran mengangguk setelah Farhan mantap ambil keputusan pulang duluan. Devan pun berseru, agar mereka berhati-hati di jalan.

Di samping kiri Gibran, Devan belum selesai menulis di sana, membuat otak Gibran otomatis harus kembali terpengaruhi ucapan Rival, sulit ia tepis.

Entah dengan cara apa supaya bisa menyingkirkan bayangan merisikan hari-hari Gibran sekarang ini.

"Jadi lu sekarang mulai deket banget ya sama cewek liar itu,"

Kata-kata Rival.

Lagi-lagi menganggu otak Gibran.

Gibran hanya bisa memijiti kening, menggaruk kepalanya, mulai dari pelan sampai berkecepatan tidak wajar.

Baru kali ini. Gibran kelihatan kusut banget di mata Devan teman sebangku sejak mereka masih SMPnya.

Ex StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang