29 : Sepasang Kekasih.

660 27 2
                                    

"Iban..."

"Iban, aku serius mau ngomong sama kamu..."

"Iban, ih! Buat apa bawa motor kalau kita jalan kaki gini."

Gibran kontan berhenti, menoleh tajam padaku. Aku gak mungkin bisa natap dia balik kalau lagi begini konsepnya.

Lagian aku gak salah ngomong kan.
Ada benernya juga kan.

Udah setengah jalan lho ini, kita jalan kaki dan dia dorong motornya tanpa ada pembicaraan apapun.

Apa gak capek dia dorong-dorong motor? Terus tujuannya apa dia lakuin ini? Marah sama aku? Karena ucapanku tadi.

Ya, bisa jadi itu sih awal penyebabnya.

Salah aku. Aku emang salah. Ahk!

Kumendengus, menendang-nendang gelas plastik ada di bahu jalan, tiba-tiba saja suara berat menakutkan muncul kembali, mambuat bulu kudukku berdiri, kalau aku gak nurut, bisa-bisa aku ditinggal nanti.

"Itu bukan sampah aku," gerutuku pelan.

"Gue bilang buang ya buang."

Kuambil sampah kering untungnya. Aku cari bak sampah di sekitar dan kubuang. Lalu aku lanjut mengejar Gibran yang sudah jauh.

Kuperhatikan Gibran, dia selalu mengechek intrument cluster pada motornya. Apa sebenarnya bensi motor Gibran abis.

Aku mau nanya soal itu, tapi aku belum siap menerima jawaban yang keluar dari mulut dia. Nanya hal lain saja, dia ketus banget.

"Ayok naik."

"Heh? Boleh dinaikkin?" tanyaku spontan aku kembali senyap.

Aku mengoreksi diri, pasti pertanyaanku salah lagi sampai Gibran melirikku.

"Mudah-mudahan cukup."

Aku yang sudah duduk di jok belakang. Keteganganku semakin meluap. Banyak sekali rutukan hatiku ingin bertanya. Entah, rasanya bibirku sulit kugerakkan, kaku, suara di tenggorokanku pun menghambatnya.

Ya Tuhan. Bolehkan aku ngobrol sama dia.

"Em... emangnya, motor, Iban, kenapa?"

Hati-hati sekali aku bicara.

Satu persatu kata sengaja aku tegaskan supaya terdengar oleh dia. Masalahnya kalau keadaan Gibran lagi menyeramkan begini otomatis nada suaraku berubah drastis. Yang tadinya melengking seketika gak kedengeran.

"Bensi gue tinggal dikit. Maaf, nyuruh lu jalan kaki tadi."

"Eh, enggak kok. Gapapa. Nao udah biasa jalan kaki. Gak usah minta maaf..."

"Hm,"

Hm? Dia jawab 'hm' doang. Ah, tidak apa-apa. Setidaknya sudah cukup buatku untuk pertama kalinya aku mendengarkan Gibran meminta maaf yang tulus seperti tadi saja, aku bahagia.

Devinisi Bahagiaku itu simple. Padahal menjadi sepasang kekasih denganku tidak perlu repot-repot lho Gibran. Kamu kalem, lembut, perhatian meskipun sedikit, aku merasa dikasih hadiah berharga darimu. Gak perlu berupa barang. Cukup kamu saja.

Ex StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang