24 : Klarifikasi Balikan.

1K 44 3
                                    

Merapihkan buku saat pulang adalah moment dimana semua saling adu kecepatam siapa yang bakalan duluan keluar.

Anak laki, pasti duluan yang menang.

Tapi aku sebagai anak laki tentu biasanya dapat rekor terakhir sejak Sekolah Dasar kalau urusan pulang. Bukan ada hal lain, hanya saja aku malas mesti desak-desakan, kadang harus adu mulut sama anak perempuan, cuman karena nyenggol bahunya.

"Sakit goblok! Punya mata gak sih."

"Maap beb. Gak sengaja."

"Bap-bep-bap-bep, gue tabok lu."

Ya contohnya, seperti mereka, Tophan dan Ibel. Dan masih banyak lagi.

Tersisa beberapa orang di dalam, aku memaksa kakiku untuk keluar dari kelas, menunggu sepi kali ini terasa lama. Mereka malah sibuk menatapi alat komunikasi masing-masing yang pada jamannya justru bukan digunakan untuk komunikasi, tetapi saling berbagi aktifitas sehari-hari, bahkan menjadi hal wajib mereka posting setiap hari.

Kadang suka bingung sih, buat baca postingan saja mereka sempat sampai setiap hari atau detik. Giliran buat baca buku, baru dibuka, ngantuk lebih mudah dirasakan. Dibanding sakit mata menatap layar berjam-jam.

"Bran, mau balik ya?"

"Iya. Mau nebeng?"

"Enggak. Gue.. mau nanya," kata Devan. Dia menarik lenganku supaya mendekati dirinya. Kelihatanya ada yang mau dibahas.

"Ada orang aneh, ngirim ini ke gue. Maksudnya apa ya?"

Aku mendekatkan layar handphone kepunyaan Devan.

"Gue juga gak tau." Dibalik kata tidak tahuku, sebenarnya aku tau ini kerjaannya siapa. Baru saja mau menemui orangnya. Suara panggilan datang lagi dari orang yang berbeda.

"Bran,"

"Lu juga dapet?" potong Devan, melihat handphone punya Ciko ternyata isinya sama.

"Disebar semua Bran. Kalau sampai kiriman ini ke guru. Gimana nasib lu?" tanya Devan lebih menghawatirkan daripada yang diancam.

"Udah biarin aja. Gak usah lu tanggapin apa-apa. Biar gue aja yang urus. Sekalipun masalah ini sampai menyeret gue ke guru. Gue gak tau hukuman mereka. Gue cuman takut hukum Allah."

Iya. Aku ingat tulisan Naomi, tulisan yang timbul dari jiwanya. Itulah alasannya kenapa mau menerima dia lagi. Dibalik kertas yang dia linting waktu itu. Seperti itulah ungkapan tulisan dia.

Dia gak takut manusia manapun meskipun harus diremehkan. Dia cuman takut sama Tuhan-nya, kalau dia meremehkan dirinya sendiri.

Kali ini. Gak bisa dikasih bebas. Memang harus dikasih tau. Kalau perlu dikasih bongkaman biar lebih tau, selama ini aku gak pernah mau punya masalah apapun, kecuali orang itu yang memulai.

♦♦♦

"Udah ah, jangan nangis. Gue sebel banget liat lu nangis."

"Lu mah... jadi temen bukannya nenangin gue malah ngedumel."

"Ya abisnya, gue udah panik kirain lu nangis karena celaan mereka. Gak taunya nangis masalah duit. Drama bet."

"Dicela ngapain nangis, capek-capein batin aja. Kalau gue gak pegang duit, gue pulang sama siapaaa." Rengek Naomi di taman belakang sekolah sambil mencabuti tanaman yang ada di sekitarnya.

Ex StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang