CHAPTER II

210 21 0
                                    

"Bagaimana kau ingin melihat senja orange jika awan hitam sedang menebarkan pesonanya. Bagaimana kau ingin melihat ribuan bintang jika malam tak bergeming..
Kau hanya harus menyelesaikannya"


Malam itu udara membeku setelah hujan mengguyur ibu kota yang penuh cahaya lampu warna-warni. Terlihat jalanan begitu kosong, beberapa dari mereka atau bahkan semuanya hanya ingin menikmati malam didalam rumah dengan alat pemanas ruangan yang mereka miliki. Malam tak seindah biasanya, hujan mengaburkan langit penuh bintang, yang terasa hanyala hembusan angin yang cukup kencang. Menggetarkan tubuh. Kyonara harus sampai rumah lebih cepat, sebelum hujan kembali turun. Sudah cukup pakaiannya basah dan berkali-kali dirinya harus menepi untuk berteduh. Kyonara menghabiskan waktunya menunggu bus untuk pulang kerumah. Jarum-jarum pada arloji yang dikenakannya menunjukkan pukul 7 malam. 'mereka pasti sudah menunggu' kata dalam benaknya. Ya, adik-adiknya pasti sudah menunggu kakak perempuan mereka pulang. Makan malam bersama adalah tradisi yang tidak boleh dilewatkan, itu sudah mendarah daging sejak mereka kecil. Bukan seperti apa mereka makan dan apa yang akan mereka makan, ini persoalan mengenai kebersamaan yang tidak bisa dibayar dengan apapun. Kebersamaan yang akan hilang jika kau mengikisnya dengan perlahan. Keluarga Kyonara tidak akan pernah mengikis kehangatan yang sudah ada sejak lama.

Tubuh kecil itu bergetar selagi menunggu bus. Pakaiannya kering di tubuh. Kyonara berharap agar dia tidak jatuh sakit karena guyuran hujan sore tadi. Kyonara mengarahkan pandangannya ke sudut jalanan, berharap bus segera datang dan membawa dirinya pulang. Kyonara butuh sesuatu yang menghangatkan. 7 lebih 5 menit, bus yang ditunggu tidak kunjung datang. Harusnya masih ada bus yang datang karena ini belum tengah malam. Apakah ini karena hujan? Oh tidak. Ini pekerjaan dan pelayanan untuk semua orang, mereka tidak boleh menggunakan hujan sebagai alasan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik. Apakah jalanan mulai macet? Oh tidak. Negeri ini tidak akan seperti itu. Hujan membuat jalanan kian kosong, bus harus datang lebih cepat. Lalu kemana bus yang ditunggu Kyonara. Kyonara pasrah, bus belum tiba dan taksi juga tidak lewat. Dia masih harus menunggu.

Tiinn...
Klakson mobil terdengar begitu nyaring, sinar lampu mobil menyilaukan pemandangan Kyonara. Dia melihat kearah mobil yang baru saja bersandar ditepi jalan tepat didepan halte bus dimana Kyonara sedang duduk disana. Sang pemilik mobil membuka kaca jendela mobil. Perlahan. Kyonara mencari visual dari pemilik mobil. Dia terkejut. Kivano duduk dibalik setir mobil.

"ayo pulang" ajak laki-laki itu dengan senyumnya.
Kyonara bergeming. Dia masih ragu. Tadi pagi dia satu bus pada Kivano dan malam ini dia harus satu mobil pada Kivano. Kenyataan seperti apa ini. Ini tidak berlebihan. Ini sewajarnya. Kyonara sedang kesulitan dan seseorang datang membantunya. Ya, ini wajar.

"masuklah" lanjut Kivano saat melihat Kyonara masih diam ditempatnya duduk. Kyonara menyadarkan kembali pikirannya. Dia tersenyum dan berdiri lalu berjalan mendekati mobil itu. Kyonara membungkuk dan "apa ini tidak merepotkan?" tanyanya lebih dulu pada Kivano.

"kalau ini merepotkan aku gak akan berhenti disini" goda Kivano dengan tawa kecil diwajahnya. Kyonara membenarkan ucapan Kivano. Dia membuka pintu mobil dan duduk tepat disamping Kivano. Dipasangnya seat belt. Mobil melaju ditengah jalanan malam yang sepi dan juga basah. Hujan begitu deras beberapa bagian jalanannya terlihat dipenuhi air.

"Dok, terima kasih" ucap Kyonara meretas kesunyian didalam mobil.
"kalau diluar rumah sakit, panggil Kivano dan berbicaralah sesantai mungkin" balas Kivano meminta Kyonara untuk tidak terlalu serius dan kaku. Ini pertama kalinya Kyonara bersama laki-laki asing selain Dokyung teman satu kampusnya. Ini tidak seperti biasanya. Tidak seperti Kyonara bersama Dokyung. Dia cukup gugup.

The First SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang