My Du'a Is My Love!

1.8K 91 23
                                    

Cahaya jingga di ufuk barat semakin mengemas, debu-debu jalanan seolah bertasbih menyerukan AsmaNya seolah turut bahagia menyambut sang pujangga malam tiba, semilir angin seperti menggaungkan namanya, menggaungkan Ia yang akan mendudukii tahta mentari,  angin membelai seolah menghembuskan kehangatan dan menghempaskan kepenatan jiwa-jiwa yang larut dalam gerak aktifitasnya yang tak pernah berhenti, tak hanya itu, angin semilir seolah menyerebakan aroma syurgawi dari atas menara-menara masjid di kota Jakarta yang tidak pernah mati, tak hanya angin, tak hanya menara tapi batu, pohon, burung yang berkicau bahkan daun kering yang jatuh dari tangkainya pun seolah menyebut namaNya, menyeru Allah Aza Wajalla Tuhan sekian alam.

Waktu maghrib hampir tiba, acara lamaran resmi Reza hanya tinggal beberapa jam lagi akan terjadi, hati Reza mulai gamang, Ia mulai resah dan bimbang, kepercayaan dirinya seperti menguap dan hilang entah kemana. Dafa sejak tadi dibuat bingung oleh sikap Reza yang menurutnya aneh, Ia beberapa kali meneguk air putih disertai keringat dingin didahinya padahal AC diruangan Reza masih berfungsi dengan baik, Reza berapa kali menggigit kuku jari manisnya, mengacak rambutnya, bahkan mondar mandir tidak jelas di depan Dafa.

“Za...!” ucap Dafa, sepertinya Ia mulai jengah melihat sikap Reza.
“Reza!” ulang Dafa, karena Reza sama sekali tak menggubris kata-katanya.

“ada apa Daf” ucap Reza sembari menghempaskan tubuhnya disingle sofa disebalah Dafa.

“kamu nervous ya?”Goda Dafa

“menurutmu” jawab Reza sembari menghempaskan nafas berat. Dafa hanya tersenyum menndengar dan melihat Reza yang kacau.

“kamu terlihat frustasi”

“aku lebih suka mengulang sidang tesisku lagi dengan judul yang baru”

“cckkk, ternyata seorang Reza bisa frustasi juga” kata Fauzan dengan nada mencibir.

“kamu akan tahu apa yang aku rasakan nanti jika kamu ada di posisiku saat ini”

“apa aku melewatkan sesuatu” ucap seseorang dari belakang.

Reza dan Dafa menoleh kerah belakang, keduanya tersenyum menyambut kedatangannya.

“Zan! Bagaimana keadaanmu, sudah baikan?” tanya Dafa, Reza hanya diam, entah canggung atau perasaan gelisahnya tadi, yang jelas atmosfir diruangan Reza sedikit berubah.

“alhamdulliah! Aku sudah tidak apa-apa Daf” kata Fauzan dengan senyuman khasnya, senyuman teduh dan menawan, lalu sekilas menatap Reza.

“kenapa Za! Sepertinya kamu lelah sekali” ucap Fauzan.

“iya! Aku, aku bingung satu ayat lagi masih belum ku hafal” ucap Reza, lagi Ia mengehmbuskan nafas panjang.

“kuncinya hanya tenang, fokus, dan serahkan semua kepadaNya, Ikhtiar sudah, doa sudah maka kenapa harus takut, hasil tidak akan menghianati perjuangan, fokuskan fikiranmu, tenangkan hatimu, jangan biarkan setan mengotori niat baikmu untuk melengkapi ibadahmu, aku yakin kamu pasti bisa, ada waktu beberapa jam lagi, yakinlah!” ucap Fauzan mencoba membangkitkan kepercayaan diri Reza kembali.

Reza diam seribu bahasa, kerongkongannya terasa tercekat sehingga Ia sulit untuk berbicara, jangankan berbicara mengucap kata Maaf karena Ia telah berburuk sangka pun Ia tidak mampu, atau kata terima kasih karena masih mau mendampinginya sebagai sahabatnya, Reza merasa amat sangat kerdil di hadapan Fauzan.

“Za! Kau mendengarku?”
Reza hanya mengangguk lalu tatapannya beralih pada ufuk barat tepatnya pada sebuah awan yang melukiskan wajah Anissa dalam benaknya.

Ia memejamkan mata menarik nafas lembut, seolah mencoba menepis segala kegalauan dan kegamangan hatinya.

Adzhan berkumandang merdu, menggema menyentuh dinding-dinding gedung hingga mampu menggetarkan hati ornag-orang yang lembut hatinya, orang-orang yang di dalam hatinya masih tersimpan iman meski kecil, Reza diam terpekur mendengarkan lantunan Adzan yang menenangkan jiwanya.

CintaMu RestuMu (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang