Melahirkan

28K 1.3K 6
                                    

Radit's Point of View

Aku mencoba berlari untuk mengejar Emma keluar dari ruang rahasiaku ini. Ruang dimana selama ini selalu dipenuhi semua hal tentang Emma. Apapun itu!

Aku benar-benar tak dapat mengontrol emosiku ketika mengetahui bahwa dirinya ingin berpisah denganku. Rasanya tak tahu lagi jika Emma benar-benar ingin berpisah denganku!

Ketika aku berlari mengejar Emma keluar dari pintu rahasia itu, aku melihat Emma sudah duduk terjatuh di atas lantai sambil menarik-narik sprai kasur dan memegangi perutnya hingga membuatku panik sekali.

"AHHH!!!" Teriak Emma kencang sekali sambil terus menangis kesakitan. Aku mencoba untuk menolongnya dan memastikan apakah dia baik-baik saja.

"DITT!! TOLONGG, DITT!!" Teriaknya sangat kencang sekali hingga mulai menarik baju yang sedang kukenakan dengan kencang pada bagian lengan kanan.

Tiba-tiba bi Sari dan Andi membuka pintu kamar kami dengan ekspresi terkejut dan langsung menghampiri kami berdua.

"Dit, Emma mau ngelahirin!" Teriak Andi.

Aku langsung menyuruh Andi untuk mempersiapkan mobil untuk membawa Emma ke rumah sakit dan menyuruh bi Sari untuk menghubungi ibu, papah ataupun keluarga dan kerabat kami lainnya. Sedangkan aku, aku mulai menggendong Emma untuk di bawa masuk ke dalam mobil. Aku sangat panik sekali hingga tak bisa berpikir jernih apa yang sedang terjadi.

"DITTT!! SAKIT DIITT!!" Teriak Emma terus menerus sambil menangis selama perjalanan kita ke rumah sakit.

"Iya, sayang! Kita bentar lagi sampe!" Aku terus mencoba menenangkan dirinya.

"GAK TAHAN, DIT!! AARGHH!!!" Mendengar itu, aku semakin panik.

Ketika aku mulai menggendong Emma kembali sesampainya di rumah sakit, aku langsung memanggil beberapa suster terdekat untuk membantuku membawa Emma untuk dibawa dan ditangani ke ruang persalinan.

"Bapak tunggu di luar dulu ya, sebelum ada instruksi dari kami", ucap seorang suster sesampainya kami di depan ruang persalinan.

Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apapun kepada mereka berdua. Aku duduk dan terus menunggu di luar ruangan sambil terus berdoa hingga seorang dokter wanita datang berlari.

"Bapak suaminya?"

"Iya, dok!" Aku langsung berdiri.

"Mohon maaf, pak. Kalau untuk benar-benar masuk ke dalam ruang operasi, kami belum dapat mengizinkan. Akan tetapi, di dalam ada ruang berdinding kaca, sehingga bapak ataupun keluarga yang lain bisa melihat proses persalinan secara langsung"

"Baik dok!" Aku segera masuk ke dalam bersama dokter tersebut untuk melihat keadaan Emma.

Dari kejauhan, aku dapat dengan jelas sekali melihat bahwa Emma sedang benar-benar kesakitan. Aku terus berdoa dan berdoa hingga dokter kembali mendatangiku.

"Mohon maaf pak, sepertinya persalinan harus dilakukan secara caesar karena terjadinya disproporsi cephalopelvic. Keadaan panggul istri bapak terlalu kecil sehing-"

"Lakuin dok!!" Jawabku langsung memotong penjelasannya.

"Baik, nanti bapak bisa menandatangani surat pernyataan", dokter itu kembali masuk ke dalam ruang operasi.

Aku kembali berdoa sambil terus menatap Emma yang mulai lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Tanpa sadar, seseorang menepuk pundakku dari belakang yang ternyata itu adalah ibu. Ibu mencoba menenangkanku dan mengatakan semua akan baik-baik saja.

Ibu langsung memelukku dan menyuruhku untuk duduk sebentar agar tidak terlalu tegang. Akhirnya aku duduk dan terus terdiam tak mengucapkan sepatah kata apapun karena begitu gelisah dengan semua ini.

"Dia udah tau semua, bu.." Ucapku tiba-tiba sambil menunduk tak kuasa menatap ibu.

".. Dia berhak tau, Dit.." Jawab ibu.

Ibu memang sudah mengetahui segalanya dari sebelumnya, sejak di restoran hotel pagi itu sehari setelah kami menikah, ketika aku meninggalkan Emma untuk sarapan dengan sengaja. Itu semua karena aku ingin berbicara berdua dengan ibu mengenai segala-galanya rahasiaku tentang Emma dari awal aku mengenal Emma.

Berbeda dengan Emma, waktu itu ibu berkata sangat amat bersyukur bahwa Emma beruntung mendapatkan diriku yang sebenarnya salah. Justru aku yang merasa paling beruntung karena bisa mendapatkannya. Maka dari itu, ketika aku menceritakan kepada Emma bahwa ibu telah mengetahui kehamilannya dariku dan ibu tidak marah, itu semua karena aku telah menceritakan segala-galanya kepada ibu.

"Tapi maaf bu.. Radit kayanya gak bisa nepatin janji Radit ke Emma dan ibu bahwa Radit gak akan pernah ninggalin Emma.." Jawabku masih terus menunduk. Ibu terlihat terkejut dan tak berkata apa-apa.

"Emma pengen kita cerai.. Dia marah besar begitu tau semuanya dan aku gak tau harus berbuat apa, bu"

"Nanti ibu bujuk Emma ya, Dit," balasnya mencoba mencari solusi.

"Gak usah bu.. Ini masalah antara Radit sama Emma aja,"

Ibu menatapku mendalam ketika aku justru tak mampu menatapnya dan terus menunduk.

***

Akal Tak Sekali Tiba (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang