Egois

24.8K 1.2K 8
                                    

"Dit! Dit!" Teriakku mencari Radit kemana-mana di lantai 2 rumah namun tidak ada.

"Kenapa, Ma? Raditnya ngilang, ya?" Tanya papah yang langsung keluar dari kamarnya.

"Iya nih, pah.. padahal tadi seinget aku dia naik ke sini abis makan malem.."

"Mungkin lagi di bawah kali, di belakang.. kamu perlu apa Ma, emangnya?"

"Gak perlu apa-apa sih, pah.. cuma ngidam aja pengen deket dia", jawabku tersenyum malu-malu kepada papah.

"Wah, dasar masih pengantin baru.. yaudah tunggu aja, nanti juga pasti dateng sendiri.. papah mau tidur duluan ya, Ma.."

"Iya, pah.."

Papah berjalan masuk ke dalam kamarnya meninggalkanku sendirian di lantai 2. Seketika aku melihat ke arah pintu balkon, siapa tahu Radit ada disana sedang menatap langit.

Aku berjalan ke arah balkon dan membuka pintu, namun tidak ada Radit disana. Sesaat aku melihat ke atas langit malam yang ternyata sedang bertaburan begitu banyak bintang hingga membuatku terkagum-kagum dan terus memandangi langit. Tiba-tiba HPku berdering, panggilan dari Ibu.

Ibu bercerita kepadaku bahwa baru saja ayah datang menemui ibu di toko. Dengan wajah yang pucat dan terlihat gugup sekali, ayah meminta maaf kepada ibu dan memberitahu bahwa dirinya sudah resmi bercerai dengan tante Cindy. Menurutnya, dia ingin sekali bertemu denganku untuk meminta maaf namun belum siap.

Ya jelas saja dirinya belum siap, karena 'takut' kepadaku. Aku itu bukan orang yang mudah memaafkan -yang sebenarnya sama seperti ayah-. Berbeda dengan ibu, yang bersifat baik dan tidak enakan.

Pada akhirnya, semua ini bukan soal paras, namun soal hati dalam menentukan pasangan. Kesalahan terbesar ayah dan ibu yaitu itu terlalu cepat mengambil keputusan berdasarkan sampul, terlebih ayah. Tapi dari situ, aku bisa mengambil pelajaran hingga akhirnya aku yakin kepada Radit, meskipun berawal dari 'keadaan terpaksa'.

Radit mencintaiku bukan karena apa yang ada pada diriku, terlebih tak ada yang aku miliki sejak pertama kali kita bertemu. Hanya perempuan introvert dan tertutup, tidak begitu populer, tidak begitu pintar, apalagi bukan anak orang kaya. Seorang gadis anak tukang kue.

"Siapa, Ma?" Peluk Radit dari belakang sambil menciumi leher kananku selepas aku mengakhiri obrolanku bersama ibu di telepon.

Aku melepaskan pelukannya perlahan dan menjelaskan kepada Radit apa yang terjadi sebagaimana ibu menjelaskan tentang ayah kepadaku. Radit hanya mengangguk mendengarkan ceritaku. Selama ini Radit selalu menjadi penengah antara aku dan ayah jika aku bercerita seberapa bencinya aku kepada ayahku.

"Tapi pada akhirnya, ayah bakalan selalu milih kamu, Ma.. Meskipun memang sifat ayah yang kaya gitu, tapi aku tau Ma, ayah itu selalu sayang banget sama kamu, anak kandungnya sendiri.."

"Mungkin.." Aku hanya terdiam.

"Dan sebenernya kamu juga jangan terlalu benci tante Cindy, karena gimanapun juga, dia itu pada dasarnya bukan wanita jahat. Buktinya dia udah bela-belain bantu kamu ngasih data perusahaannya yang sebenernya itu bisa beresiko untuk dia dipecat loh", jelas Radit membuatku menjadi -sedikit- merasa bersalah.

Aku tetap terdiam sambil menatap Radit yang juga sedang menatapku tajam mendalam.

"Mungkin dia kaya gitu karena dia sayang banget sama ayah dan gak mau perhatian ayah kebagi selain buat dia dan anak-anak dia.."

"Berarti dia egois dong?!"

".. Seseorang bisa ngelakuin apa aja Ma, buat dapetin apa yang paling dia pengen.. Apapun, termasuk hanya sekedar meminta perhatian dari orang yang kita sayang.."

".. termasuk dengan cara ngerebut suami orang dan ngambil hak anak tirinya?" Aku mengerutkan dahiku.

"Itulah hidup.. kalau memang itu yang dibutuhkan, kenapa enggak?"

Aku terdiam. Apa yang dikatakan Radit itu memang cukup masuk akal.

"Hmm.. ngomong-ngomong, kamu abis dari mana sih? Kok daritadi aku nyariin gak ada dimana-mana?"

"Oh hmm, tadi aku abis dari belakang"

"Ngapain?"

"Tadi abis ngobrol sama Andi, kenapa?"

"Gak apa-apa, nyariin aja.."

"Hmm.. Ma, kamu inget gak waktu kamu nanya tentang apa doa aku yang terkabul ketika bintang jatoh?" Tanya Radit ketika dia melihat taburan bintang di langit malam yang indah.

"Iya, apa?"

"Aku.. berdoa semoga aku bisa milikin kamu seutuhnya.."

"..Oh, ya?"

"Dan itu terjadi ketika malem itu, tepat sebelum aku ngeliat kamu tiba-tiba jatoh di trotoar deket mobil aku diparkir"

Aku terdiam mendengarnya. Mengapa dia terpikir untuk berdoa seperti itu? Apa itu berarti bukti bahwa dia memang sudah mencintaiku lebih dulu dibandingkan aku yang mencintainya? Aku menatap wajahnya yang masih terus menatap langit malam. Sesaat dia mulai menatap wajahku dan tersenyum tulus. Ah, aku betul-betul mencintainya!

***

Akal Tak Sekali Tiba (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang