Pingsan

35.8K 1.7K 8
                                    

Aku terbangun dari tidurku ketika tanpa sadar sedang menyandarkan kepalaku pada sisi kiri kasur Radit saat dirinya rupanya sedang menggenggam tangan kananku. Sesaat aku tak sempat berpikir apa-apa karena masih dalam keadaan setengah sadar, hingga Radit langsung menyingkirkan tangannya kembali dari tanganku ketika dirinya sudah berhasil membangunkanku.

"K-kamu gak langsung pulang ke rumah?" Tanyanya penasaran dengan suara pelan.

Setelah berhasil mengangkat kepalaku dengan benar dan mendapatkan pandangan yang jelas, kulihat wajah Radit masih terlihat pucat sambil menatap ke arahku.

"Gimana aku bisa ninggalin, kalo kamu aja tiba-tiba jatoh pingsan kaya tadi?" Jawabku sambil mengucak kedua mataku yang masih bengkak.

Dia hanya terdiam menatapku, seperti dirinya memilih untuk tak mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya.

"Aku kira kamu benci sama aku.." Ucapnya tak bernada, seolah-olah menyindirku -meskipun dengan wajahnya yang datar dan pucat-.

"Aku masih punya hati nurani, kali.." Aku memutarkan kedua bola mataku.

Untuk beberapa saat, mungkin jawabanku akan terdengar kekanak-kanakan bila dibandingkan dengan sikap dan cara bicara Radit kepadaku. Tapi kau harus tahu, aku masih memiliki rasa kesal kepadanya walau dirinya telah menjelaskan semua kejadian sebenarnya kepadaku.

"..Kamu mending nanti pulang aja. Supir aku lagi jalan kesini sekarang, biar nanti aku minta tolong dia buat anter kamu ke rumah.."

"Kenapa?" Aku mengerutkan dahiku mendengar ucapannya yang terdengar seperti mengusirku.

"..Kenapa apanya?" Balasnya kebingungan.

"Kenapa kamu nyuruh aku pulang?"

"Kamu kan lagi hamil.." Balasnya sambil mengangkat sebelah alisnya. "Kamu harus jaga kesehatan kamu. Aku gak mau sampe kamu kenapa-kenapa.. Lagian, kamu kuat nungguin aku disini terus?" Dia menatapku mendalam.

Untuk beberapa detik yang kulewati, aku terdiam tak berkutik mendengar ucapannya yang terdengar begitu perhatian, ditambah dengan tatapan kedua mata indahnya yang membuatku entah mengapa merasa semakin meleleh.

"E-eggak juga, sih.." Aku mencoba mengalihkan perhatianku kepada hal yang lain.

Apa dia benar-benar serius denganku? Kita bahkan bukan sepasang kekasih yang memutuskan untuk menikah. Aku terdiam untuk sesaat memikirkan segalanya. Segala keraguan yang tumbuh sejak tadi pagi hingga saat ini.

"Hmm.. Aku gak yakin buat nikah sama kamu. Kamu beneran yakin mau nikahin aku? Kita bahkan sama-sama belum saling mengenal satu sama lain.."

Radit menatapku kembali dengan tatapannya yang tajam seperti yang pernah kulihat sebelumnya yang membuat aku justru menjadi merasa diintimidasi olehnya. Dia tidak berkata apapun untuk menjawab pertanyaanku yang penuh akan keraguan, seakan-akan dirinya sedang berdiskusi dengan pemikirannya sendiri.

"Aku tau mungkin kita gak saling cinta, aku minta maaf juga karena kamu ngerasa dirugiin. Bukan maksud aku juga buat gak mau disalahin, tapi coba inget-inget lagi awal mulanya kaya gimana.."

Aku terdiam. Apa maksud ucapannya itu? Aku kebingungan dan mencoba untuk berpikir keras, mengingat kembali sesuatu yang tidak ingin aku ingat.

Tangan kananku yang semula berada di pipi kirinya berpindah kepada tengkuknya untuk menarik kepalanya agar aku bisa mencium bibirnya. Aku membuka kedua bibirku, mengeluarkan lidahku untuk berkenalan dengan lidahnya.

Tubuhku yang makin lama makin kepanasan membuat aku memutuskan untuk melepaskan bajuku. Aku kembali menciumi bibirnya yang sudah basah tersebut. Kedua tanganku akhirnya mencoba melepaskan jaket hitam dan kaos putihnya perlahan diikuti dengan tubuhnya yang diposisikan kembali tegak dan membantu melepaskan bajunya.

Akal Tak Sekali Tiba (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang