21

3.8K 619 62
                                    

Dengan langkah penuh kewaspadaan, Jisoo berusaha meredam suara kakinya sebisa mungkin. Dia naiki anak tangga satu demi satu dengan sangat berhati-hati.

Telapak tangannya yang telah basah akibat terlalu gugup saling meremas didepan dadanya.

Doa Jisoo pagi ini tidak macam-macam, hanya menginginkan sang ayah tidak berada dirumah dari semalam. Entah itu berada di kantor, atau mungkin sang ayah kembali ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya yang lain? Atau mungkin ayahnya memiliki jadwal meeting mendadak sejak tadi malam?

Itu mustahil. Kenyataannya...

"Dimana ponselmu?"

Jika saja tangan Jisoo tidak refleks memegangi pembatas tangga disampingnya. Mungkin leher Jisoo sudah patah akibat jatuh terguling karena terkejut suara ayahnya.

Padahal tinggal beberapa anak tangga lagi Jisoo sampai ke lantai dua, sehingga dia bisa berlari kekamarnya dan mengunci diri disana sampai ayahnya pergi. Mungkin lain waktu Jisoo bisa menjelaskan tentang ketidakpulangannya semalam.

Namun itu hanya angan-angan Jisoo semata. Nyatanya semua itu kini berbanding terbalik. Donghae sudah berdiri tepat di depan tangga, menunggu putri tersayangnya sampai.

"A-da" Jisoo menaiki anak tangga terakhir, hingga posisinya sejajar dengan sang ayah.

"Ada dimana Kim Jisoo?!"

Jisoo terus menunduk, keberaniannya untuk bertatapan dengan sang ayah belum cukup. Mengucapkan satu kata saja dia tidak becus.

Jisoo tahu, walaupun dia tak melihat wajah ayahnya, dia sangat yakin jika ayahnya itu sedang marah besar. Bagaimana tidak marah jika putri semata wayangnya tidak pulang semalaman tanpa memberi kabar?

Donghae mengamati penampilan Jisoo yang menurutnya berantakan. Jaraknya yang dekat mempermudah Donghae untuk dapat mengenali bau menyengat apa dari tubuh putrinya.

"Kau minum?"

Sungguh pertanyaan yang paling Jisoo hindari.

"Jawab Kim Jisoo!" Donghae kembali berteriak. Matanya menatap Jisoo tajam. Menggambarkan betapa marahnya dia saat ini.

Jisoo mengangguk kaku. Kakinya terasa semakin bergetar. Dan jantungnya nyaris copot.

Donghae melonggarkan dasi yang telah terpasang rapi di lehernya, dia benar-benar merasa tercekik atas pengakuan putrinya.

"M-maaf ayah" lirih Jisoo, membuat Donghae berasumsi buruk.

"Dimana kau semalam?"

"N-nayeon" jawab Jisoo, dia berharap ayahnya akan mempercayai itu.

"Dirumah Nayeon? Baik ayah akan menelpon Nayeon"

Donghae merogoh ponselnya di saku celana yang dia pakai. Melihat itu Jisoo semakin  panik. Dia tidak bisa menarik Nayeon dalam masalah yang sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya.

"Tidak ayah aku berbohong!" Jisoo menangis dan menyentuh tangan Donghae, menghentikan Donghae mencari nomor telepon Nayeon sebelum ayahnya benar-benar bisa menghubunginya.

Menyadari kesalahan putrinya sudah sangat fatal membuat Donghae semakin marah. Awalnya Donghae hanya akan bertanya kenapa Jisoo tidak pulang semalaman. Tapi betapa kecewanya ketika Donghae mencium bau alkohol dari baju putrinya. Kemudian putrinya ini berbohong tentang ketidakpulangannya.

Donghae memijit pelipisnya, kepalanya seperti mau pecah. Wajahnya yang tegas membuatnya nampak menyeramkan saat rahangnya mengeras.

"A-ayah, aku bisa menjamin, aku tidak melakukan apapun semalam"

L I E STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang