42

7.7K 754 121
                                    

Taeyong duduk termenung pada pembatas balkon yang terletak dikamarnya. Sepulang sekolah dia memutuskan untuk tak keluar dari kamar dan memilih menyembunyikan dirinya disana.

Ini sudah pukul delapan artinya waktu makan malam telah berlalu, dan Taeyong sengaja melewatkannya akibat tak mau bertemu dengan dua orang yang telah berhasil membuatnya canggung.

Sial sekali, Seung-hyun dan Yoona hanya dua hari berada disini dan meninggalkan Taeyong hidup sendirian. Ya, mereka hanya ingin memastikan jika Taeyong benar-benar sampai di Rusia.

Jujur saja, Taeyong benar-benar terkejut ketika mendapati gadis itu berada disini. Kim Jisoo, siapa lagi. Gadis itu memang benar-benar gila. Dan Taeyong benar-benar lelaki pengecut yang tak berani menemuinya.

Taeyong menyesap rokoknya, kemudian mengeluarkan asapnya dari mulut dan hidung, sebelum dia tergagap dan membuang rokoknya pada kolam renang yang terletak tepat dibawah balkon kamarnya. Ayahnya datang, terdengar dari knop pintu yang diputar dan muncul lah sosok tinggi yang sudah tidak muda lagi.

Ayah Taeyong memang tak suka dengan rokok, tapi kedua putranya, Seung-hyun dan Taeyong, adalah perokok berat. Taeyong memilih membuang rokoknya akibat ia tak mau membuat ayahnya protes dan berakhir dengan suasana hatinya yang semakin memburuk.

Taeyong juga telah menurunkan kakinya serta membenahi gaya duduknya. Lama ia tak berbincang bersama ayahnya membuat dirinya merasa canggung.

"Berapa jumlah lubang yang ada ditelinga mu?" Tanya Yunho ketika tubuhnya bersandar di samping putra keduanya.

Taeyong segera menjawab. "Dua belas"

Yunho tertawa singkat dengan satu tangannya yang mencoba meredam suaranya.

"Anak ayah benar-benar jagoan"

"Ayah menginginkan sesuatu dariku?" Taeyong mulai curiga, tak biasanya ayahnya bersikap seperti ini, ya- biasa yang ia maksud mungkin sekitar satu tahun yang lalu. Tentu, ini membuatnya semakin canggung.

"Ayah hanya ingin meminta maaf"

"Maaf?" Taeyong mengerutkan keningnya, menatap sang ayah yang bisa dibilang sangat mirip dengan wajahnya.

"Maaf karena tak memiliki banyak waktu untuk menemui dirimu"

"Tidak masalah, ayah selalu mengirimkan banyak uang"

"Kau pasti kesepian"

Taeyong menggeleng sambil tertawa. "Uang sudah cukup membuat ku bahagia, ayah"

Taeyong terus tertawa, bahkan ini bukanlah hal lucu yang patut untuk ditertawakan. Dia sendiri tahu, jika tawanya hanya ia buat-buat.

Jauh dari lubuk hati Taeyong yang terdalam, ia sama sekali tak menaruh dendam pada sang ayah. Kadang ia memang merasa jengkel, tak pernah merasakan bagaimana kasih sayang orangtuanya, bagaimana perhatian mereka, dan bagaimana hidup layaknya sebagai anak normal dengan kedua orangtua yang mendampinginya.

Taeyong memahami, jika hidupnya memang jauh dari kata normal.

"Lee Taeyong, bisakah kita berbicara layaknya teman?"

Taeyong menatap sang ayah kaku setelah menghentikan tawanya. Perasaan curiga tiba-tiba menyelimuti hatinya kembali.

"Aku ngantuk dan ingin cepat tidur"

"Hanya sebentar"

Taeyong pasrah, ia kembali bersandar pada pembatas balkon setelah sebelumnya menjauhi sang ayah. Ia tak mencoba membuat suatu alasan lagi ketika otaknya memang sedang tak bisa diajak bekerjasama.

L I E STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang