Empat Puluh Dua

1K 28 0
                                    

Davin megotak ngatik Rubiks Cube yang ada ditangan nya, mencoba menggabungnya warna secara sesuai dengan bermain ketangkasan otak nya. Dibekalang kursi putar yang sedang ia duduki terdapat laki laki yang tengah duduk di sofa dengan wajah yang lesu.

"Kenapa dia bisa tau gue ada disini Fan? Gue bisa tau kondisi dia dengan liat dari jauh aja gue udah seneng"

"Sorry Dav, sorry banget, harusnya gue bisa nahan ini sampe waktunya, tapi ternyata, gue gak bisa lama lama bikin lo ber 2 dengan perasaan yang sama sama kesiksa." Fano tertunduk lesu dengan sedikit ketidak enakan hati pada Davin.

Davin menegadahkan kepalanya yang semua tertunduk memperhatikan gerakan jari jari nya pada benda yang ia pegang.

"Dengan cara ini, rencana pernikahan mereka bisa aja batal kan? Deandra bakal lebih milih lo" Ujar Fano lagi.

Davin menggeleng pasrah. "Gak" ucapnya tertahan.

"Deandra bisa bahagia tanpa gue, dan gue bisa sangat bahagia kalo liat dia bahagia, itu cukup Fan" Davin berucap secara pelan dan terasa sesak terdengar.

Fano mengusap wajah dengan kedua tangan nya secara kasar. Wajahnya terlihat sangat frustasi tertunduk ke bawah.

"Gue masih gak terima kenapa lo yang harus jadi korban, andai lo bisa buka mata lo lebih lebar lagi dan liat kalo Roy lebih bebas dan lebih damai di Perth menikmati hasil semua ini. Kenapa om Bram tega banget sih"

Fano semakin terlihat sangat frustasi, topi hitam Peaceminusson nya ia lepas membuat rambutnya terlihat acak acakan.

"Takdir gue sama takdir Roy beda, dari kecil dia emang lebih bahagia dari pada gue" Davin tersenyum paksa .

Akibat cara licik yang diperintahkan oleh Bram dan juga Roy membuat Davin secara sangat terpaksa melakukan itu semua demi Perusahaan keluarga mereka, Davin tidak akan bisa mengelak dan hidupnya memang selalu ada diatas kendali Ayahnya. Dan sampai waktunya dimana hidup Davin menjadi sangat berantakan dan membahayakan bagi dirinya sendiri. Banyak yang dendam padanya, terlebih Perusahaan pesaing yang ia tipu secara blak blakan. Tentu saja banyak yang ingin mebalas dendam semua itu pada Andalusia, terlebih Davin yang sebagai icon untuk diteror.

"Kalo hidup gue gak lama, lo harus janji sama gue bakal jaga reportasi Andalusia, gue gak percaya sama Roy yang kerjaan nya cuma menikmati kejayaan dan pamor dia sendiri"

"Oiya satu lagi yang lebih penting dari Andalusia, pantau terus Deandra ya, pastiin kalo dia bahagia sama pasangan hidupnya, bilang gue sayang banget sama dia lebih dari Genta" Davin terkekeh sendiri mendengar omongan ngaco nya sendiri.

"Bulshit!! Apa yang lo bicarain sih? Mau bunuh diri? Pengecut" maki Fano dengan ledekan pedas.

Davin tertawa renyah, sebegitu kesalnya Fano mendengar ucapan yang barusan Davin lontarkan.

"Hehehe, Fan Fan, bisa aja gue berhasil terbunuh atau gak gue juga bisa aja bunuh diri gara gara depresi? Iya kan?" Davin terkekeh lagi dengan tampang amat menyebalkan, kursi nya ia putar sehingga menghadap Fano, kedua tangan nya ia lipat di belakang kepala.

"Sakit jiwa kalo sampe lo bunuh diri, kesenengan si GENTAyangan brengsek itu bisa milikin cewe lo seutuhnya" Fano berucap dengan kesal.

"Jadi?" Davin menautkan alis nya sebelah.

"Jadi apa?" Tanya Fano heran.

"Yang bocorin keberadaan gue ke Deandra lo atau Eky?" Davin memajukan tubuhnya, dengan seringai kedua mata yang menatap Fano dengan tajam.

Fano menarik nafas untuk mengurangi rasa gugup yang tiba tiba ia rasakan begitu Davin menatapnya tajam.

"O...ok..okeee, gue yang ngasih tau, dari awal kan gue udah bilang kalo gue ngga bakalan tega ngeliat lo berdua dengan perasaan yang sama sama kesiksa, harusnya disitu lo udah paham heheheh" Fano berucap dengan teramat hati hati dengan sejumlah pembelaan untuk dirinya.

Deandra dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang