Aku segera melepaskan dekapanku setelah sekian puluh detik lamanya. Aku yakin, jika teman-teman yang membelakangiku kini telah usai mengacungi senjata mereka pada kakekku.
"Hapus tangismu, Nak," ujar kakekku selembut sutra dengan wibawanya sembari mengusap air mataku dengan jempol kriputnya. "Kerajaan penyihir terancam, kita harus segera bergegas."
"Ka-kakek, mengapa kakek bisa tahu jika kami ada di sini?" tanyaku pelan dengan kepala tertunduk.
"Tahan pertanyaanmu dulu, Nak, kakek akan menjawabnya saat nanti di perjalanan." Kakekku tersenyum lebar padaku kemudian ia berbalik 180° dan berjalan maju beberapa langkah sampai akhirnya berhenti, diangkatnya tongkat sihir sepanjang 1.4 meternya tinggi-tinggi di udara.
Teman-temanku mulai beranjak turun dari kuda mereka. Entahlah aku tidak sempat berbalik dan melihat mereka benar-benar turun, aku hanya mendengar suara kuda yang sedikit menjerit dan suara langkah kaki yang menghampiriku.
"Apa yang kakekmu lakukan, Sisca?" Aku menoleh ke samping kanan berusaha mencari sumber suara. Kudapati Leon yang menatap bingung tongkat sihir kakekku dengan ujungnya menyala putih terang seterang matahari yang menyilaukan. Entah sejak kapan manusia ini sampai di sampingku.
Kami menutup mata kami sedikit berusaha agar tidak terkena efek silau yang terasa amat. "Dia sedang melakukan matra panggilan untuk memanggil sesuatu, kurasa."
"Keren," ujar Leon singkat dengan tatapan kagum.
Pria ini memang tidak pernah melihat sihir sebelumnya. Wajar saja ia tidak bisa biasa.
Entahlah, menurut tebakanku, beliau akan memanggil suatu hewan yang akan sangat berguna nantinya. Sejauh yang aku tahu, dahulu beliau sangat menguasai mantra panggilan hewan-hewan suci, beliau juga sangat menyukai hewan semacam itu entah mengapa.
"Aku memanggil, sepasang merpati anggun berbulu putih, yang bersemayan di puncak gunung Galpabo, lepaslah dari sangkar sakral kalian, dan layani tuan barumu. Kemarilah, kemarilah!"
Beberapa detik telah berlalu, beliau kemudian menurunkan tongkatnya. Alih-alih beliau tinggal diam dan menunggu, kakekku justru berbalik menghampiri kuda-kuda kami. Hal mengejutkan berikutnya terjadi, kedelapan kuda kami bukannya lari dari kakekku karena mereka memang telah dilatih menjauh dengan orang asing, kuda-kuda itu malah menghampiri beliau seolah beliau adalah ibu kuda-kuda ini.
"Kalian sudah tidak membutuhkan kuda-kuda ini lagi," ucapnya hangat sembari mengelus salah satu kepala kuda.
Tunggu, itu adalah kudaku, sudah aku duga beliau memang mempunyai ikatan batin yang tidak dapat dijelaskan dengan para hewan.
"Maksud Anda, kami harus berjalan kaki?" Sungguh, pertanyaan yang barusan Jems lontarkan itu terdengar sedikit ... bodoh. Biarlah saja dia, dia memang pemula dalam hal pengetahuan sihir.
Kakekku tertawa, tawanya sangat berwibawa. "Tentu kita tidak akan berjalan kaki wahai anak muda, kita akan terbang Aku tahu kalian hanya punya sedikit waktu jadi aku putuskan memanggil sedikit bantuan."
"Terbang? Tapi bagaimana?" tanya Leon sedikit memiringkan kepala.
Apa mereka tidak peka? Tentu saja kita akan terbang dengan sepasang merpati yang barusan kakek panggil--merpati raksasa tepatnya.
"Maaf tuan, aku masih belum sepenuhnya percaya pada penyihir asing sepertimu, lagipula aku lebih cinta kudaku," kata Goerge dengan tangan menyilang di depan dadanya.
"Kau boleh saja tidak mempercayai penyihir tua sepertiku wahai manusia," kata kakekku sembari terus mengelus-elus kepala kuda secara bergantian.
Beliau terlihat sangat gembira dengan kuda-kuda itu, bahkan dia sempat tertawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]
Fantasy[Completed] Ini tentang perjuangan Fransisca Julian sang penyihir yang berkelana menjelajahi lembah bersama teman-temannya untuk meraih kebahagiaan dan kejayaan yang lama sirna. Ini tentang senyum dan tawa yang ingin Fransisca Julian bawakan di kela...