9.0 | Disappointed, Sad, And Feeling Bad

228 23 9
                                    

Perlahan namun pasti, aku mulai membuka kedua kelopak mataku, hal pertama yang aku lihat adalah langit-langit berupa kain cokelat dengan berbagai tambalan. Tunggu, apa aku sudah mati? Jika, ya, seharusnya aku sudah melihat cahaya-cahaya terang seterang matahari senja yang menyejukan sekarang. Dan di mana para malaikat bersayap indah yang akan menuntunku ke surga? Di mana aku sebenarnya?

Aku langsung bangkit dan menyandarkan punggungku ke kain kumuh tepat di belakangku, mataku masih cukup buram untuk melihat sekeliling. Namun, dari bau yang aku cium, aku yakin seribu persen jika aku masih hidup dan bernapas mediami tanah Nortuland. Bau darah amis tercium di mana-mana, perlahan mataku mulai dapat melihat dengan tajam, hampir melebihi ketajaman mata elang.

Terbaring koma di sekitarku, puluhan orang dengan luka-luka yang beragam, beberapa sampai kehilangan anggota badan seperti tangan atau kaki, beberapa hanya diperban, dan beberapa lagi tubuhnya telah dibalut kafan.

Jujur, aku langsung merasa mual, hanya saja perutku terasa kosong sehingga muntah adalah hal mustahil untuk dilakukan--setidaknya untuk saat ini. Beberapa di antara korban adalah perempuan sepertiku. Hanya saja lebih didominasi oleh para kaum Adam.

Hal terakhir yang aku ingat sebelum aku pingsan adalah tubuhku yang bergesekan langsung dengan liur-liur kerongkongan raksasa, kejadian itu seketika membuatku mual sampai akhirnya pingsan.

Namun, entah mengapa aku masih bisa berada disini, di dalam tenda persegi panjang yang berisi para korban perburuan semalam.

"Akhirnya kau bangun juga." Suara itu langsung membuat kepalakuku.

Seorang wanita paruh baya berjubah putih dengan kacamata transparan yang membatasi indra pengelihatannya dari udara menatapku dengan senyum tipis. Wanita itu membawa sebuah papan klip, beberapa lembar kertas tertempel pada klip tersebut. Aku tak tahu, sejak kapan wanita itu berada disana, karena yang aku pikirkan saat ini hanyalah keberuntungan yang berpihak padaku. Terima kasih banyak, Dewi Fortuna!

"S-siapa kau?" tanyaku ragu.

"Perkenalkan, namaku Madam Shusy, perawat di sini, dan kau pasti nona Frasisca Julian, 'kan?" wanita itu mengenalkan dirinya.

Aku mengangguk. "Ya, panggil saja aku Sisca," ucapku masih lemas. "Maaf, bagaimana mungkin aku bisa hidup setelah raksasa menelanku?"

Akhirnya pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirku. Sungguh, ini adalah keajaiban.

Madam Shusy tersenyum lebar. "Anda harus bersyukur, nona Sisca. Anda adalah satu-satunya orang di tanah Nortuland yang selamat dari telanan raksasa," ucapnya senang, "Teman penyihir Anda-lah yang telah menyelamatkanmu, ia sampai membelah perut raksasa untuk mengambil tubuhmu."

Tunggu, apa Madam Shusy tadi bilang 'teman penyihir'? Astaga, apa teman-temanku sampai mempertaruhkan nyawanya hanya untuk diriku yang tak berguna ini? Rasa bersalah seketika mulai menyelimuti hati kecilku ini.

"Siapa yang Anda maksud dengan 'teman penyihir' itu, nona Madam Shusy?" aku bertanya.

"Kalau tidak salah, emm .... Aku tak tahu pasti siapa namanya, namun kudengar dia adalah penyihir dengan kekuatan elemen es."

Stuerd! Astaga, apa yang sebenarnya ia pikirkan? Tinggalkan saja aku mati menjadi gumpalan kotoran raksasa dan nyawamu tak akan terancam! Sungguh, aku hanyalah beban bagi mereka. Aku tak pantas untuk bergabung dengan mereka sebagai tim, benar kata teman-temanku dulu yang selalu meledekku di sekolah.

Tanpa aku sadari, air mulai berkumpul di mataku. Ya, sekarang aku menangis. Air-air itu jatuh mengalir waktu kukedipkan mataku karena para angin yang terus menusuki retina. Mungkin Madam Shusy sekarang menduga tangisku adalah tangis bahagia, namun bukan! Tangisku adalah tangis sedih.

"Aku akan pergi, kupikir Anda perlu waktu sendi--"

"Tunggu!" potongku yang langsung menatap tajam Madam Shusy, "Apa Anda tahu, di mana teman-temanku?"

Madam Shusy terlihat sedikit berpikir sampai akhirnya ia menjawab, "Tadi aku lihat teman-temanmu berada di perapian pusat perkemahan ini, mereka sedang duduk berbicara."

"Terima kasih."

"Sama-sama."

Madam Shusy pun pergi keluar dari tenda, entah wanita bersurai hitam sebahu itu ingin berlalu ke mana aku tak peduli.

Aku pun mulai berdiri, kakiku masih terasa sakit sebab para tulangku yang masih lemas. Dengan susah payah, aku mulai berjalan keluar tenda. Pakaian yang aku kenakan adalah jubah hijau pemberian Zuton yang sudah dibersihkan--entah oleh siapa--dari liur dan isi perut raksasa, aku merogoh saku jubahku dan menemukan tongkat sihir bermotif bunga miliku.

Setelah keluar dari tenda, aku langsung medapati sesosok orang yang tengah tersenyum padaku, aku yakin ia baru saja ingin menjengukku.

"Sudah sembuh, ya?" tanyanya ramah.

Aku menundukan kepalaku, tampangku masih terlihat lemas. "Egwin, mengapa kalian tidak membiarkanku mati saja?"

"Apa yang kau maksud, Sisca?" Egwin menatapku dengan tampang cemas seketika. Dari ukiran mukannya saja terbesit, apa-kau-sehat-Sisca?

"Maksudku, lihat diri kalian! Kalian kuat, kalian punya sihir elemen masing-masing, kalian lincah. Dan aku ini apa?!" aku membentaki Egwin.

"Kau teman kami," ujar Egwin sembari mengulurkan tangannya.

Seketika aku menepis tangan Egwin yang meluncur menuju pundak kananku, hatiku benar-benar kacau sekarang.

"Tidak! Aku tidak pantas bersama orang-orang kuat seperti kalian, kautahu kenapa? Karena aku lemah, aku bahkan tak punya elemen apa pun! Aku hanya beban bagi kalian!"

"Sisca, tatap mataku!" Egwin berseru kencang hingga menarik perhatian beberapa manusia yang lalu lalang. "Kami tahu kau tak punya kekuatan elemen seperti kami, tapi hal itu tak mungkin akan menjatuhkanmu begitu saja. Kau teman kami, Sisca, kau teman kami! Percayalah, kau tidak lemah! Setiap penyihir punya kelebihan dan kekurangan!"

"Dan apa 'kelebihan'-ku yang kau maksud itu?" tanyaku sembari menghapus air mataku yang terus mengalir.

"Percayalah, Sis, mungkin sekarang kau belum memiliki kekuatan elemen, tapi siapa yang tahu? Di suatu hari kau akan mendapatkan kekuatan sejatimu, malah akan lebih kuat dari kami," Egwin kembali tersenyum.

"Terima kasih, Egwin," aku berterimaksih meski hatiku masih sedikit kacau.

Semoga saja kejadian itu tidak kembali terulang.

"Tak perlu berterimakasih padaku, malah aku yang harusnya memintamaaf karena telah membawa kalian kemari," kata Egwin.

"Tidak, kau tak salah. Kau malah telah membawaku ke pertualangan keren ini. Sebelum kau mengajakku kemari hidupku sangat membosankan," ucapku.

Egwin tersenyum, penyihir bersurai biru ini kemudian menatapku. Itulah yang aku suka dari Egwin, ia selalu menyemangatiku di saat aku jatuh, entah apa jadinya aku tanpa dirinya.

Aku balik tersenyum hingga tak sadar mataku samai menyipit.

"Ayo, yang lain telah menunggu kita di perapian," kata Egwin sembari memegang tangan kananku dan berlari.

Baru beberapa langkah kami berlari, aku mengaduh kesakitan, maksudku aku baru sembuh hari ini, dan aku belum bisa berlari sepertinya.

"Eg, kautahu jika aku baru sembuh, 'kan?" tegurku lembut.

"Maaf, aku hanya terlalu bersemangat. Sudah dua hari aku tak melihatmu," kekeh Egwin.

Aku terkejut setelah mendengar ucapan Egwin. Sudah dua hari aku jatuh pingsan?! Astaga, belum pernah aku koma selama ini.

--TBC--

Chapter ini aku tulis ulang setelah insiden kehapusnya chapter ini. 😩

Harusnya sekarang udah publish chapter 16, eh malah tulis ulang ini. Udah deh nggak apa. ☺

Baiklah, jangan lupa tinggalkan jejak.

Eksan B.

🏰

Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang