Seluruh penyihir memasang tampang paling kesal mereka, tongkat-tongkat sihir yang mereka pegang menyala seterang kobaran api. Davincio baru saja selesai melakukan sihir terlarang: sihir pemanggilan naga api. Kini penyihir kuno itu tidak bisa berbuat apa-apa --seluruh chakra-nya telah habis.
Sisa-sisa chakra Davincio ia gunakan untuk mengubah tongkat sihirnya menjadi pedang perak. Bagi kebanyakan penyihir, mereka akan menuju tenda perwatan saat kondisi mereka telah kehabisan chakra. Namun, tidak untuk Davincio, ia akan berjuang sampai titik darah penghabisan.
Tidak ada penyihir ataupun yang tampak kuat seperti bangun pagi, padahal mentari sudah sedari tadi menampakan dirinya. Semua penyihir ataupun manusia terlihat lelah, napas mereka memburu, busana mereka dibasahi oleh percik darah dan bau kecut keringat.
Hanya tersisa ratusan dari pulahan ribu orc yang bertahan, tubuh mereka terlihat gosong selayaknya daging ayam di atas panci yang lalai diambil.
Clorex melompat dari atas gapura setinggi puluhan meter dan mendarat di tanah dengan selamat seolah grafitasi takut melukainya.
Sisca mengambil kuda-kuda dengan posisi pedangnya di depan dada.
"Kalau memang itu yang kau minta, bertarunglah sampai mati denganku, Yang Terpilih," ucap Clorex mulai serius. Kedua tangan orc ini telah berhias sebuah Pedang Kegelapan.
Fransisca Julian meludah dan menatap Clorex dengan tatapan paling merendahkan.
"Cih, singkirkan mata jelekmu dariku, Lemah!" umpat Clorex.
Clorex seketika berlari cepat sembari berteriak kesal menghampiri Fransisca Julian yang masih berdiri tenang seolah tidak takut dengan aura iblis yang Clorex pancarkan.
Clorex mengibaskan pedangnya saat jaraknya dengan Sisca sangat dekat. Namun, Sisca segera mengangkat pedangnya dan menangkis serangan Clorex, menyebabkan bunyi desing yang amat keras melesat menguasai indra pendengaran. Tanah-tanah di sekeliling mereka bergetar.
"Bunyi itulah yang akan terdengar saat Pedang Cahaya dan Pedang Kegelapan berbenturan," gumam Davincio memberitahu lainnya.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang? Tak mungkin jika kita hanya tinggal diam di sini sementara Sisca tengah mempertaruhkan nyawanya dan seisi Nortuland?!" Goerge berseru dengan dahi berkerut.
"Saat ini, tidak ada cara lain selain melihat pertarungan legendaris Sisca dan Clorex. Jika kita membantu anakku, kita hanya akan merepotkan," jelas William.
Lora dan Egwin tak kuasa menahan tangis mereka, sosok yang selama ini telah menemani pertualangan mereka hingga sejauh ini telah tiada. Bagi Egwin, Zack adalah kakak yang baik, sering kali ia mencueki Egwin namun ia tahu itu adalah salah satu bentuk perhatian yang sulit diartikan.
Jems hanya diam saja sedaritadi entah mengapa, namun dari ukiran mukanya, semua tahu jika Jems ingin segera memenggal setiap orc yang memijaki kakinya di Kerajaan Wizard.
Sisca dan Clorex bertarung hebat. Sudah beberapa menit berlalu dan kedudukan mereka masih seimbang. Tidak ada luka sayat di tubuh, yang ada hanyalah keringat yang terus memancur, dan tatapan kesal yang dua insan ini saling lontarkan.
"Sebenarnya apa yang kau mau, Clorex! Mengapa kau ingin sekali merebut daratan kami?!"
Sisca menangkis lesatan pedang yang hendak menyentuh lehernya.
"Gadis sepertimu tak akan tahu apa yang aku mau!"
Clorex menghindar dengan lincah dari lesatan mematikan Pedang Cahaya.
"Huh, kau pikir aku hewan sampai tidak bisa mengerti?" Sisca bertanya dengan nada tak terima.
Clorex akhirnya bisa menyentuh tubuh sisca dengan tendangannya, hal itu membuat Sisca terpental ke belakang. Sisca segera menyesuaikan posisinya kembali, mulut sucinya melafalkan sumpah serapah yang tak patut untuk didegar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]
Fantasía[Completed] Ini tentang perjuangan Fransisca Julian sang penyihir yang berkelana menjelajahi lembah bersama teman-temannya untuk meraih kebahagiaan dan kejayaan yang lama sirna. Ini tentang senyum dan tawa yang ingin Fransisca Julian bawakan di kela...