29.0 | V the Great Coach

178 16 0
                                    

"Jadi, ke mana kita pergi?" Sisca bertanya canggung, kedua tangannya saling bercengkraman, sorot maniknya hanya mengarah ke depan berharap ada benda bagus untuk dilihat. Benda yang nantinya dapat mengisi suasana yang mulai hening ini.

Pedang putihnya telah ia taruh dikamarnya, sehingga tidak menimbulkan rasa ketertarikan dari lara elf penjaga. Sisca bukanlah tipe gadis yang suka memamerkan barang-barangnya. Dirinya lebih memilih untuk menyimpan semua perhiasan dan barang menarik lainnya, untuk digunakan di hari-hari penting.

Leon tampak berpikir, kelima jemari yang tumbuh di tangan kanannya tampak sedang mengelus-ngelus dagunya. Walaupun Leon tidak memiliki janggut untuk dielus. "Bagaimana kalau ...."

"Bagaimana kalau apa?" ulang Sisca bingung.

Leon menceletukkan jemarinya. "Ah! Bagaimana kalau kita keliling desa, siapa tahu kita akan mendapat hadiah dari para elf."

"Kau rela berkeliling desa hanya untuk mendapat hadiah?" Sisca menatap jijik Leon yang tersenyum-senyum cemerlang.

"Lebih tepatnya, tujuh puluh persen niatku adalah mengajakmu jalan-jalan, sedangkan tiga puluh yang lain untuk--"

"Mendapat hadiah?" potong Sisca menembak.

"Tepat sekali, lagipula bukannya para elf baik hati? Percayalah mereka akan memperlakukan kita seperti bangsawan saat menyadarimu adalah yang terpilih." Leon mengusap-usap telapak tangannya seraya menyerigai.

Sisca memasang tampang datar sambil bertanya, "Jadi, dalam arti lain kau memanfaatkanku untuk mendapatkan hadiah itu, 'kan?"

"Tidak, bukan begitu. Aku hanya ingin mengajakmu berkeliling kampung!"

Dalam hati Sisca tertawa-tawa. Bagaimana tidak? Perilaku Leon yang mudah gugup membuatnya tampak lucu, ditambah lagi pipinya yang mulai merona merah. Sungguh, Sisca sangat mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini.

Yang Leon katakan juga tidak sepenuhnya salah, dirinya ingin mengajak gadis ini untuk berkeliling. Leon tahu jika Sisca masih belum terima dengan kepergian Stuerd, sosok yang telah menyelamatkan nyawa Sisca dari telanan raksasa. Jadi apa dayanya kini. Leon harus menenangkannya dengan hati tulus ksatrianya.

Sisca mengangguk sambil tersenyum tipis, "Baiklah Leon, ayo lakukan apa yang kau mau."

"Itu baru Sisca yang kukenal," Leon seketika menggandeng tangan Sisca dan berlari kencang menuju pintu keluar istana yang masih jauh.

Semua terjadi terlalu cepat. Awalnya Sisca tampak berontak, namun lama kelamaan dirinya mulai terbiasa dengan tingkah laku Leon yang mulai terlihat kekanak-kanakan. Entah bagaimana seorang ksatria bisa bersikap seperti itu Sisca tak tahu.

Leon dan Sisca terus berlari membelah kesepian jalanan lorong panjang yang berliku-liku, mengabaikan semua peringatan untuk berhenti, dan menghindari lantai-lantai yang basah entah kenapa.

Sesekali Leon berusaha mencuri pandangan ke Sisca dengan ekor matanya, Leon sangat terpesona saat itu. Bukan, Leon bukan terpesona dengan muka Sisca yang dipenuhi oleh keringat berkilau, namun Leon terpesona dengan rambut merahnya yang berkibar seolah ia adalah bendera dan Leon adalah anginnya.

"Leon, apakau yakin ini lorong yang tepat?" tanya Sisca dengan napas memburu dan masih dalam posisi berlari.

"Hei, lelaki ini tak pernah salah dalam memilih kautahu?" Leon berusaha setegar mungkin meski kini hatinya berdebar-debar kencang, secepat mungkin ia berlari untuk menutupi debaran kencang itu.

Dan setiap kali pemuda ini merasakan lembutnya kelopak tangan Sisca yang halus, jantungnya semakin berdebar dan berdebar. Menciptakan perasaan baru yang belum pernah pemuda ini rasakan.

Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang