23.0 | The Mini War In The Wizard Castle Part 2

171 16 0
                                    

Xuttaro begitu gila, tanpa rasa takut sedikit pun orc ini terus mendobrak pintu demi pintu. Jika ia menemukan seorang penyihir, maka makhluk biadab ini akan langsung memenggalnya sebelum sang penyihir melafal manta. Tidak peduli anak-anak, wanita, ataupun orang dewasa semua Xuttaro dan anak buahnya bantai hanya dengan sekali tebas.

Orc ini benar-benar mengamuk. Tampangnya tidak lagi main-main seperti saat ia melawan Pangeran Jordan, tampangnya sangat menakutkan, membuat siapa pun yang melihatnya akan langsung membeku.

Anak buah Xuttaro hanya tersisa dua puluh orang. Namun, bukan berarti jumlah  pasukannya yang tersisa sedikit membuatnya takut akan kekalahan. Maksudku, Pangeran Kegelapan tak pernah sekalipun gagal dalam misi membunuhnya. Makhluk biadab ini selalu berhasil, dan membawa kepala korbannya ke depan sang Raja Kegelapan, Clorex ayahnya.

Brengsek! Jika seperti ini terus maka aku tak'kan menemukan makhluk konyol itu! Batin Xuttaro sembari memenggal kepala seorang penyihir yang ia temui.

"Indiviao-xureoz!" Sebuah sinar cahaya menyala mengarah langsung pada Xuttaro. Menyadari dirinya dalam bahaya, Xuttaro seketika memantulkan serangan cahaya panas dengan bilah kapak berkilaunya.

Alhasil, sinar super panas itu kembali dan mengenai dada seorang penyihir berjubah putih hingga tembus.

Dasar bodoh!

*

"Baginda, kita tidak bisa membiarkan Pangeran Kegelapan terus membantai seisi istana!" Seorang gadis berambut dan berjubah putih memberi hotmat kepada depan Raja-nya. Lambang matahari tergambar pada jubah bagian punggungnya.

Bukan, gadis itu bukan penyembah matahari, melainkan gadis itu adalah penyihir pengguna elemen cahaya.

"Ramalan itu benar, Clara, ramalan itu benar ...," ucap Raja Hendry yang duduk di singgasananya.

"Maksud baginda?"

"Aku akan melawan Pangeran Kegelapan, seperti yang ramalan itu katakan Raja Penyihir akan mati beberapa hari sebelum perang besar dimulai, dan hari itu adalah sekarang," lirih sang raja.

"Tidak Hendry! Kautak boleh mati! Putra kita telah gugur hari ini dan itu sudah cukup membuatku jatuh. Aku tak ingin melihatmu mati, Hendry. Aku tak mau!" Ratu Elivia Elivabel mulai menangis. Bagi Elivia, suaminya adalah segalanya setelah putranya gugur.

Pangeran Jordan Harmambo Cristoper sang putra mahkota telah tiada. Entah siapa yang akan menjadi Raja jika Hendry tiada.

Hendry Cristoper tersenyum lebar. "Kalau begitu jangan melihatku mati, Elivia. Pergilah, cari yang terpilih. Aku mencintaimu," ucapnya seraya memberikan tongkat emas 1,4 meternya kepada sang Ratu kerajaan Penyihir, Elivia.

Hendry kemudian menatap Clara yang masih tertunduk bungkam, tidak kuat hati kecil Clara melihat tuannya yang telah mengadopsi dan merawatnya semenjak kecil akan segera mati menghadapi takdir. Rintihan air mulai jatuh dari mata Clara bak gerimis.

"Clara," panggil Hendry.

"Ya, baginda?" tanya Clara berusaha tetap tegar.

"Jaga istriku dalam misi mencari yang terpilih, karena hanya yang terpilihlah yang bisa mengakhiri semua kekacauan ini. Tongkat emas ini akan menuntun kalian, masa depan tanah Nortuland bergantung pada kalian."

"Ba-baginda," lirih Clara, "Apa saya boleh memanggil baginda, ayah dan baginda Ratu ibu?"

Raja tersenyum. "Tentu kauboleh, Clara. Bangkitlah dan peluk ayahmu ini."

Tangis Clara menjadi, gadis bersurai putih itu pun memeluk ayahnya dengan amat erat, jauh di dalam lubuk hati seorang Clara Yudistina, ia amat menyayangi ayah dan ibunya, meski ia kerap kali tak diperhatikan.

Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang