Epilogue

315 14 3
                                    

Dulu, aku sering berpikiran jika akulah sosok penyihir telemah dan terbodoh yang pernah memijak Tanah Nortuland. Namun, kini pikiranku soal itu telah kubuang sejauh-jauhnya.

Egwin benar, setiap penyihir memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan, inilah kelebihanku, akulah sang penyihir dalam ramalan Pedang Sihir Nortuland.

--Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword--

Fransisca Julian's PoV

Sedari tadi kami terus memacu kuda kami sekencang-kencangnya, melewati pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sana-sini, dan tonjakan yang membuat unicorn tungganganku melompat tinggi.

Aku, Leon, V-Iroff Gard, dan Xilly Floresta si elf wanita berkuda beriringan melewati lebatnya pepohonan Hutan Fafabo. Di belakang kami bertiga, menyusul sekitar dua ratus ribu elf bersenjatakan lengkap dengan kuda-kuda berzirah yang menjadi tunggangan mereka.

Rute yang kami bertiga dan beratus ribu elf di belakang kami lewati adalah rute tercepat dan teraman menuju Kerajaan Wizard yang V pilih. Toh, V sangat berpengalaman jika dihadapkan dengan Hutan Fafabo, baginya Hutan Fafabo adalah tempatnya bermain dan meluangkan waktu semenjak umurnya baru sepuluh tahun, pangeran Kerajaan Zabbur ini hafal setiap sudut jalan Hutan Fafabo nan luas.

"V, kapan kita akan sampai?!" teriakku berusaha menandingi bunyi lesatan angin yang melintas menganggu indra pendengaranku.

V melirikku dengan ekor matanya, "Beberapa menit lagi, sabarlah sedikit!"

Apa? Baru pertama ini dalam perjalanan aku menanyainya soal lama waktu, dan dia malah menyuruhku bersabar? Ayolah, aku selalu sabar!

Lupakan soal amarahku itu, hal itu tak penting untuk dipikirkan. Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana keadaan kampung halamanku? Apa masih normal selayaknya beberapa hari lalu, atau mungkin orc telah menyerangnya habis-habisan?

Jujur, aku merindukan kampung halamanku itu ... aku tak ingin kehilangan tempat di mana aku lahir, tempat di mana aku merasakan kesedihan dan kesenangan, tempat di mana kenangan terbentuk.

Bunyi hentakan sepatu kuda terdengar nyaring memenuhi atmosfer, membuat makhluk-makhluk buas mana pun akan menjauh kala mendengarnya.

Sesekali aku mencuri pandangan ke arah kiri, membuat manik cokelatku menyaksikan tarian rambut pirang milik Leon yang berkibar ditiup embusan angin. Pagi tadi, Leon menyempatkan waktu untuk memotong rambutnya sebagian, membuat penampilannya lebih rapi dan tampan.

Menyadari tatapanku, Leon segera memutar kepalanya supaya dapat melihatku. "Ada yang salah?"

Pipiku merona merah, pandanganku kembali menatap lurus jalanan sempit Hutan Fafabo. "Emm ... tidak ada, kok."

Leon membuang napas beratnya, pandangannya lalu kembali meratapi jalan yang ujungnya masih tak terlihat. "Dari tampangmu saja, kauterlihat berbohong, Sisca."

Pipiku semakin merona bak warna rambutku waktu mendengar ucapan seorang Derytoby Leon Alexsandra. Kurasakan setiap embusan angin hutan ini yang telah menerbangkan rambutku ke belakang sepenuhnya, membuat pipiku yang merona-rona ini terlihat jelas.

"Sisca," panggil Leon dengan serius.

Entah mengapa suara Leon barusan sukses membuat jantungku berdebar kencang, untung saja suara hentakan sepatu kuda dari ratusan ribu prajurit telah sukses menyembunyikannya.

"Jika perang ini telah usai maukah kau menikah denganku?"

Perlahan aku kembali menolehkan kepalaku menatap manik biru berkilau Leon, kulihat senyum manis yang terukir pada mukanya. Entah mengapa pemuda itu tiba-tiba mengungkapkan perasaannya di saat-saat tegang seperti ini.

Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang