[Completed]
Ini tentang perjuangan Fransisca Julian sang penyihir yang berkelana menjelajahi lembah bersama teman-temannya untuk meraih kebahagiaan dan kejayaan yang lama sirna. Ini tentang senyum dan tawa yang ingin Fransisca Julian bawakan di kela...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Egwin menuntunku untuk menuju perapian di tengah-tengah perkemahan sementara ini. Hal tersebut kembali mengingatkanku saat beberapa hari lalu, kami berlima berkumpul di sebuah api unggun yang telah padam, menyisahkan kayu-kayu hitam nan rapuh saat pertama kali kami bertemu para manusia tepatnya saat sehari setalah kami--tidak sengaja--keluar kerajaan.
"Sisca, Egwin, cepat kemari!" Teriakan itu tak lain dan tak bukan adalah teriakan Stuerd, pemuda berambut putih itu tampak sedang melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan.
Stuerd, Zack, dan Lora. Ketiga penyihir ini terlihat sedang duduk santai di atas sebatang kayu berdiameter tujuh puluh centimeter di depan perapian yang sekarang hanya mengeluarkan asap-asap kecil, mungkin perapian telah menyala sepanjang malam menyisahkan kayu-kayu gosong.
Aku dan Egwin mempercepat langkah kami menghampiri ketiga teman kami yang hanya berjarak sekitar 20 meter saja, tidak nyaman rasanya membuat mereka menunggu lama hanya karena kelambanan kami dalam melangkah.
Tenda demi tenda kami lewati, orang demi orang juga kami lewati. Sampai akhirnya, kami berdua sampai di sebuah perapian tempat Stuerd, Lora, dan Zack berada, kamipun duduk berjejer menghadap api unggun yang hanya mengeluarkan asap tipis nan kecil.
Sebelumnya Egwin mengatakan padaku jika ada hal yang amat penting yang ingin dibicarakan di perapian, semoga saja yang Egwin maksud bukanlah berita buruk.
"Terimakasih telah menyelamatkanku, Stuerd." Pandanganku sedikit menoleh ke Stuerd yang duduk santai di samping Lora dan Zack seolah tidak memperhatikanku, kuberikan senyum manisku padanya.
"Tidak masalah, omong-omong ada berita buruk yang akan kita sampaikan padamu, Sisca," ujar Stuerd datar to the point. "Semoga kau bisa menerimanya."
Ayolah, mengapa harus berita buruk? Maksudku, hidupku sudah cukup terpuruk untuk mendengar berita buruk!
"Lebih tepatnya, dua berita buruk." Lora yang duduk di antara Stuerd dan aku mulai angkat bicara, pandangannya sepenuhnya ditujukan pada perapian.
Dua berita buruk? Satu berita buruk saja sudah membuat pikiranku seolah melayang-layang entah ke mana, dan sekarang dua?! Oke, aku harus bisa menerima apapun berita yang akan temanku sampaikan, sudah waktunya aku merubah sikapku. Tunjukan sosok dewasamu Sisca!
"Para orc telah mengetahui jika kaum manusia belum sepenuhnya punah." Stuerd menjelaskan dengan tampang tertunduknya.
"A-apa? Darimana kau bisa tahu, Stuerd?" tanyaku tidak percaya menatap Stuerd yang tertunduk.
Entah apa yang penyihir es ini pikirkan sekarang.
"Aku telah bertemu dengan para orc, saat itu juga aku segera bersembunyi dan mengaktifkan sihir pendengaranku untuk mendengar apa yang para orc bicarakan. Oh, dan saat itu kau juga ada bersamaku, dalam keadaan pingsan tentunya," terang Stuerd sembari membuang pandangannya dari perapian ke kanopi hutan pinus yang menjulang tinggi jauh di atas.