Hari yang semua penyihir takuti telah tiba, hari di mana bunyi dering pedang terdengar mengusir jauh-jauh kensunyian lembah, dan hari di mana jeritan menyebar dan menguasai seluruh indra pendengaran. Hari tumpah darah.
Ratusan ribu penyihir berbaris dengan rapi di setiap tingkatan Tembok Agung Wizard. Manik mata mereka yang beragam warna mengarah lurus ke arah rerumputan luas di luar Kerajaan, berusaha menangkap kedatangan para orc.
Tembok Agung Wizard adalah tembok tertinggi di Tanah Nortuland, tembok ini memiliki ratusan tingkat dan ratusan jendela--tanpa kaca ataupun jeruji--untuk menyaksikan dunia luar--yang belum pernah dipijak oleh beberapa penyihir. Masih menjadi misteri tentang siapa yang membangun tembok ini, berbagai mitos dan legenda telah lahir sebab kemisteriusan itu.
Matahari baru menampakan setengah bagian tubuhnya di ujung timur sana, memyebarkan sinar paginya ke penjuru lembah, menciptakan sebuah kesejukan yang siapa pun inginkan.
Samar-samar mulai terlihat ratusan tibu orc yang berbaris rapi dari kejauhan. Tangan mereka berhias sebilah kapak perak nan besar, tubuh mereka berbalut zirah kelabu, dan yang paling menakutkan; mereka menunggangi seekor serigala raksasa. Para troll tidak menunggang serigala, sebab ukuran tubuhnya yang lebih besar dari orc. Sedangkan para ogre dengan mudahnya berlari kencang, sebab ukuran mereka yang sepuluh kali lebih besar dari orc.
Hingga akhirnya, armada perang itu berhenti secara kompak tepat 200 meter dari Tembok Agung Wizard. Menyebarkan aura-aura tegang dan takut yang memenuhi atmosfer para penyihir.
Perlahan namun pasti, Kerajaan Wizard mulai terkepung oleh sejuta orc bersenjatakan lengkap. Timur, utara, dan selatan Kerajaan Wizard berhias para makhluk terkutuk yang siap berperang--krcuali barat, sebab aliran deras sungai redie yang menguasai seluruh wilayah sana.
Para orc meraung-raung keras, menunggu pemimpin mereka memberi aba-aba untuk maju dan serang. Para kelinci dan rusa yang semula memenuhi lembah telah berlari dan bersembunyi sebab kedatangan para orc.
Serigala raksasa tunggangan para orc melolong-lolong menyebarkan suaranya ke penjuru lembah hijau.
Di barisan paling depan, terpampang dengan gagahnya seorang Raja Clorex yang menatap kosong tembok besar kelabu di hadapannya, serigala berbulu kelabu dengan mata bersinar putih rela menjadi tunggangannya. Sebuah pedang hitam panjang tergantung pada ikatan di pinggangnya. Pedang legendaris sihir yang tak lain dan tak bukan merupakan pedang kegelapan. Jubah hitamnya berkibar di tiup angin dini, diikuti oleh rambut panjang bergelombangnya.
Bunyi terompet taduk yang ditiup sukses mengema menjelajahi seluruh indra pendengaran penghuni Tembok Agung Wizard, tanda para penyihir untuk bersiap-siap menembak. Sontak suasana di tembok menjadi tegang, para penyihir menatap dengan fokus sekerumunan orc yang terpampang 200 meter di depan. Tongkat sihir mereka sepenuhnya terancung membidik setiap makhluk biadab yang bernapas 200 meter di depan.
"Rajaku, orc itu adalah sang Raja Kegelapan," ucap seorang penyihir berambut cokelat sambil menunjuk sosok Clorex yang berada di barisan paling depan dengan telunjuknya. "Aku sarankan untuj membunuhnya."
Raja Willdan Cristoper yang merupakan saudara kandung dari Hendry Cristoper yang telah tiada mengangguk mengerti sembari melangkah maju. Tangannya mulai mencengkram sebuah tongkat kayu di saku jubahnya.
Dengan suara yang lantang, Raja Willdan Cristoper mulai melafal mantra, " Dengan izin para dewa-dewi, aku memanggil, raksasa batu kuno penjaga lembah suci para leluhur penyihir legendaris, bangkitlah dari tidurmu .... AYO! BANGKITLAH! BANGKIT ...!"
Sebuab pertir bewarna emas menyambar-nyambar tepat di hadapan Willdan.
Hal itu sukses menarik perhatian seluruh pasang mata baik penyihir-penyihir maupun para orc dari kejauhan.
Setedik berikutnya munculah sesosok raksasa batu setinggi lima belas meter di hadapan Willdan. Raksasa itu terjun bebas dari puncak tembok, sebab tak kuasa menahan grafitasi, kedua kakinya memijak tanah hijau tanpa merasa sakit sedikit pun. Membuat tanah di sekelilingnya bergetar hebat.
Hegzellus? Dasar bodoh, kaupikir raksasa batu lemah itu bisa menandingi kekuatanku?! Batin Clorex mengejek.
Willdan melakukan sihir telepati supaya bisa berbicara dengan sosok raksasa batu Hegzellus yang telah memijak tanah.
Bunuh Raja Kegelapan dan kauboleh kembali ke lembah suci! Perintah Willdan bertelepati sambil menatap sosok Hegzellus yang mulai mengambil ancang-ancang berlari.
Baik, tuanku ..., balas Hegzellus bertelepati.
Hegzellus pun mulai memacu kedua kaki batunya cepat menghampiri sang Raja Kegelapan. Ujung tongkat sihir kayunya berpendar merah menyala tanda jika raksasa batu itu telah mengaktifkan kekuatan terbaiknya. Hegzellus bukanlah makhluk yang bodoh. Makhluk suci ini tahu jika lawannya adalah sosok paling kuat setanah Nortuland, maka dari itu raksasa batu ini mengaktifkan kekuatan terbaiknya.
Dengan santainya, Clorex mulai menarik pedang kegelapannya dari sarungnya. Tatapannya begitu merendahkan membuat Hegzellus semakin mengamuk.
Para orc di belakang hanya bisa diam dan menjadi saksi rajanya bertarung, mereka akan dihukum mati bila berani mencampuri pertarungan rajanya. Lagipula, Clorex bukanlah antagonis yang lemah.
Hegzellus berhenti dari larinya saat jaraknya dengan Clorex Sang Raja Kegelapan hanya lima puluh meter. Dengan penuh gaya, raksasa batu ini memutar 360 derajat tongkat sihirnya dan diarahkannya pucuk tongkatnya itu ke arah Clorex yang hanya duduk diam di atas tunggangannya sambil sekali-kali menguap bosan.
Sial, mengapa dia sesantai itu, huh?! Batin Willdan mulai curiga dari tingkat paling atas tembok.
Clorex mengayunkan dengan kencang pedang hitamnya ke arah Hegzellus yang berjarak lima puluh meter darinya, sontak udara di depan Clorex melesat kencang sebab ayunan pedang kegelapan ke arah Hegzellus yang tengah melafal mantra. Lesatan udara itu lalu berubah warna menjadi hitam dan lebih hitam, mengajak seluruh udara yang dilaluinya guna ikut berkoloborasi menjadi lesatan yang lebih kencang dan tajam.
Hingga ...
Lesatan udara itu kemudian mencium tubuh gagah nan keras seorang raksasa batu Hegzellus sebelum dirinya sempat menyerang Clorex dengan tembakan sihirnya. Menyebabkan tubuhnya terbelah menjadi dua bagian akibat tajamnya lesatan itu. Tubuh Hegzellus yang tak bernyawa mulai jatuh menyentuh rerumputan hijau. Perlahan namun pasti tubuhnya mulai memudar menjadi kepingan-kepingan cahaya bewarna putih menyala lalu lenyap begitu saja.
Raja Penyihir Willbur Cristoper telah gagal total, butuh sesuatu yang lebih kuat dari raksasa batu Hegzellus. Kini, sosok suci Hegzellus telah tiada, menyababkan lembah suci di alam sana tidak mempunyai penjaga.
Para penyihir terkejut setengah mati menyaksikan pemandangan di hadapannya. Tak mungkin sosok raksasa Hegzellus bisa dikalahkan dengan sangat mudah oleh sang Raja Kegelapan.
Clorex kemudian meraung sekeras-kerasnya, raungan yang membuat siapa pun membeku. Raungannya sukses menyabar ke penjuru lembah, menjelajahi seluruh indra pendengaran para orc.
Sedetik kemudian, sejuta orc yang mengepung penuh Kerajaan Wizard ikut meraung sekencang-kencangnya. Raungan yang bersatu padu membuat seluruh indra pendengaran para penyihir sakit.
"MAJUU!!!"
Tepat sedetik setelah Clorex mengatakan sepatah kata tersebut, seluruh orc yang mengepung Kerajaan Wizard sontak memacu serigala mereka untuk maju dan serang. Membuat bulu kuduk setiap penyihir menegak. Rasa takut sukses menjalar ke tubuh setiap penyihir--termasuk Raja Willdan. Menciptakan ketidak yakinan untuk memenagkan perang.
Perang Besar Nortuland ke-2 telah di mulai. Perang di mana nasib penyihir dipertaruhkan. Kalah menjadi makhluk langka selayaknya manusia, atau menang dan bahagia.
--TBC--
KAMU SEDANG MEMBACA
Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]
Fantasy[Completed] Ini tentang perjuangan Fransisca Julian sang penyihir yang berkelana menjelajahi lembah bersama teman-temannya untuk meraih kebahagiaan dan kejayaan yang lama sirna. Ini tentang senyum dan tawa yang ingin Fransisca Julian bawakan di kela...