20.0 | Two Elf

201 19 0
                                    

Hawa silir angin memaksaku untuk segera bangun meninggalkan dunia mimpi. Dengan gerakan seorang pemalas, aku mulai bangkit perlahan-lahan, mulutku terbuka lebar-lebar mengeluarkan apa yang semula menghuni tubuhku: udara. Kedua mataku mulai kuusap perlahan-lahan, takut jika manik coklatku lecet.

Pandanganku perlahan namun tanpa kepastian mulai menjelas dan menjelas, namun tak sampai sejelas pengelihatan seekor elang. Tubuhku berdiri guna bisa meratapi seluruh isi ubin. Api di tengah telah tiada, sebab rakusnya dirinya saat melahab kayu-kayu. Menyisahkan para angin malam yang masuk melewati celah jendela yang bolong.

Bahkan daun Pohon Fliyn yang tebal tak bisa membuat tubuhku tetap hangat. Namun tetap saja, walaupun nyala api tak terlihat lagi, sinar rembulan yang menyusup melewati celah jendela kayu cukup membuat ubin ini--setidaknya sedikit--terang.

Tunggu sebentar, rembulan? Jadi, ini belum pagi, ya? Lalu sekarang pukul berapa? Apa saat ini pagi buta? Ah, andai saja ada jam di sini maka benda itu akan selalu menjadi sorot perhatianku.

Sudah tak terdengar lagi suara orang beradu dengkur di sini, itu berarti semuanya telah bangun dan pergi, tapi ke mana? Dan mengapa mereka meninggalkanku sendiri di sini?

Merasa hanya seorang diri di ubin, kakiku langsung aku pacu untuk keluar, berusaha mencari keberadaan temanku yang entah berlalu ke mana. Maksudku, mengapa mereka tidak membangunkanku?

Sorot mataku langsung menangkap puluhan bahkan ratusan goblin yang tengah beraktifitas, mulai dari olah raga panjat pohon hingga menempa peralatan perang. Ternyata dugaanku benar, ini adalah pagi buta. Bukan malam hari.

"Hey, baru bangun, ya?" ucap seseorang yang entah di mana.

Aku menoleh ke sana-sini, berusaha menangkap si pemilik suara. Dan benar saja, kudapati seorang Stuerd yang tengah berdiri membelakangiku, entah sudah berapa lama ia berada di sana, berdiri mematung meratapi kanopi pohon. Senyum telah mengukir mulutnya, rambut putihnya terlihat berantakan, jubah hijaunya begitu lusut beberapa darah bekas pertarungan kemarin bahkan menempel di sana. Ada yang janggal dari Stuerd, di balik senyumnya, aku bisa melihat sebuah kelemahan. Apa dia masih merasa sakit?

"Stuerd, kau tak apa?!" Aku berjalan mendekatinya, aku yakin kini tampangku begitu cemas. "Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?"

Stuerd tertawa kecil, tawa itu terdengar seperti tawa yang dipaksakan, "Aku tak apa, Sis."

"Tidak, Stuerd. Kautampak kelelahan!" Jujur, ini kali pertama aku merasa cemas pada seorang lelaki. "Apakau yakin bisa melanjutkan perjalanan hari ini?"

"Jangan terlalu memikirkanku, Kerajaan Wizard terancam, diriku tak terlalu penting," ucap Stuerd yang diakhiri dengan batuk menjadi.

"Stuerd!"

"Pergilah, susul yang lainnya, aku akan tetap tinggal di sini sampai sakitku benar-benar sembuh," ucap Stuerd yang diakhirinya dengan senyuman. Akhirnya ia mengaku jika dirinya sedang sakit.

Stuerd sangat penting dalam misi ini, penyihir elemen es ini adalah salah satu sosok terkuat ketiga setelah Zack dan Kakek Davincio. Pemuda ini juga telah menyelamatkanku dari telanan raksasa penghuni Ladang Hijau. Entah apa jadinya tim ini tanpa dirinya.

"Tidak, Stuerd! Kauharus tetap ikut! Sakitmu tidak akan mempengaruhi kami!"

"Tidak, Sisca, saat sakit aku sangat tidak berguna, aku hanya beban bagi kalian," ucap Stuerd sembari duduk di tanah dan menyandarkan punggungnya pada dinding ubin.

Tiba-tiba saja aku teringat pada sosok lemahku dulu saat berada di perkemahan sementara para manusia. Saat itu aku benar-benar jatuh, kesedihan telah menguasaiku sepenuhnya. Namun, datanglah sosok Egwin, sang penyemangat bagiku. Ucapan Egwin sukses membuat kesedihan itu lenyap, diriku yang jatuh pula kembali bangkit. Egwin sudah seperti saudara bagiku. Menggantikan Ayah dan Ibu yang telah tiada.

Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang