19.0 | Derytoby Leon Alexsandra The Human

194 22 6
                                    

Kami adalah penyihir, kau adalah manusia, mereka para goblin dan elf, sedangkan dia orc. Walaupun wujud kami berbeda, namun kami masih saling berulur tangan. Kecuali mereka; para orc.

***

"Mohon izin untuk kembali, tuan," sang raksasa meminta izin.

Kakek Davincio menjawab dengan tegas, "Tuanmu memberi izin, kembalilah ketempatmu berasal."

*

Pertarungan ini membuat diriku tersadar, jika mentari telah berlari ke ujung barat. Mungkin jam telah berpihak pada angka lima sekarang, sebab langit yang mulai memamerkan warna jingganya, juga sinar terik yang telah sirna sedari tadi.

Darah sang serigala alfa bersim di mana-mana, tubuhnya terbelah menjadi dua: bagian depan dan belakang, sebab Hegzellus yang merobeknya. Sangat kejam, tidak aku sangka makhluk suci sepertinya sampai melakukan hal seperti itu, di tambah lagi dua mutan serigala yang dua sosok misterius itu bunuh.

Tunggu, sosok misterius? Cepat-cepat aku berbalik, berusaha mencari keberadaan dua sosok itu, tapi hasilnya nihil, tak ada satu pun dari mereka.

Aku melangkah perlahan mendekati Kakek Davincio, kupegang pundaknya dengan halus sembari berkata, "Kakek tadi itu apa?"

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Nak, tapi aku terpaksa membunuh mereka. Sekalipun aku adalah pecinta binatang," Kakek berkata iba, sorot matanya menatap kosong ke arah depan. Sungguh aneh, biasanya Kakek Davincio selalu memberikan senyum di akhir perkataannya, tak peduli jika itu senyum tipis yang cepat berlalu ataupun senyum lebar yang bertahan lama.

"Aku tahu, Kek. Aku akan melakukan hal yang sama jika saja aku menjadimu," ucapku berusaha menghibur beliau.

Kakek akhirnya menoleh ke arahku, membuat manikku bertemu dengan sorot mata beliau. Kakek Davincio lalu tersenyum dan berlalu ke arah Leon, Jems, dan Goerge yang terluka. Namun, aku tahu ada yang salah dari senyumnya, senyum itu bukanlah senyum yang biasa beliau lontarkan padaku. Namun, itu adalah senyum paksaan, ya, paksaan.

Apa yang sebenarnya Kakek Davincio pikirkan? Apa dia marah padaku sebab aku yang menanyainya tadi?

"Sisca!" Lamunku akan Kakek langsung sirna, digantikannya lamunku oleh sosok Egwin yang berlari menghampiriku, tampangnya terlihat sangat cemas.

Temanku ini lalu berhenti di hadapanku, napasnya memburu, jubahnya sobek-sobek sebab cakaran sang serigala alfa tadi.

"Apakau baik-baik saja?" tanyaku cemas meratapi sosok Egwin yang berantakan.

"Aku, baik, bagaimana denganmu, apakau terluka?" Dasar Egwin, ia selalu mencemaskanku seperti ini, mengingatkanku pada sosok ibuku saja.

"Ya, aku baik, kautak perlu mencemaskanku, Egwin," ucapku. "Asal kautahu, kaulah yang perlu dicemaskan, lihatlah jubahmu! Semuanya sobek!"

Egwin seketika melepas jubahnya yang bolong-bolong, dibuangnya begitu saja seolah merupakan kain kusut tak berguna--atau memang itulah nama jubah lama Egwin sekarang. Kini, gadis bersurai biru itu mengenakan baju bewarna putih lengan pendek dengan celana sepergelangan kaki yang semula ia sembunyikan di balik jubah.

"BERTAHANLAH, KAMI DATANG!" Ezbur si ketua suku goblin berseru keras dari ujung lapangan, membuat semua pasang mata langsung menatapnya kaget.

"Di mana para serigalanya, apa mereka lari?! Mereka takut pada kami?!" bentak Ezbur meremehkan dari arah barisan rumah pembatas padang rumput ini yang beberapa masih ditumbuhi pohon raksasa.

Terpampang Ezbur dan puluhan atau bahkan ratusan goblin yang bersiap untuk bertempur. Pedang, pisau, busur, dan tombak menghiasi tangan mereka. Ezbur berada di barisan paling depan, memegang sebuah panji bewarna hijau daun kebesaran kaum goblin yang berujung lancip.

Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang