24.0 | Welcome To The Zabbur Kingdom!

181 18 0
                                    

PoV 1

Langit malam memanglah indah, rembulan selalu menampakan wujud bulatnya bersama pasukan bintang-bintang nan beragam jenis, memancarkan cahayanya ke seluruh daratan Nortuland meski hanya sedikit. Namun, berjuta pasang mata sukses tersihir untuk tertutup saat malam terus melarut. Bukan tertutup selamanya namun tertutup sampai sinar damai sang bulan sirna.

Aku merasakan aura menenangkan ini, aura yang selalu membuat mataku untuk tertutup. Rambut merah panjangku berkibar-kibar sebab angin-angin yang melintas berlawan arah. Hati kecil ini seakan telah bahagia hanya karena rembulan dan para bintang, padahal sesaat lagi perang akan dimulai, perang yang menentukan nasib para penyihir untuk kedepannya.

Menang atau kalah. Punah atau terus bertahan. Senang atau sedih. Hidup atau mati ....

"Kakek, kapan kita akan sampai?" tanyaku memecah keheningan malam.

"Beberapa menit lagi, Nak," jawab Kakek yang ia akhiri dengan senyum.

Akhir-akhir ini kakek menjadi sangat pendiam, entah karena kejadian penyerangan di negeri goblin atau memang kebetulan belaka. Aku ingin melihat Kakek Davincio yang dulu, beliau selalu tersenyum dan mengjakku untuk berbicara entah membahas apa supaya kantuk tidak merasuki.

Merpati ini tidak terbang terlalu tinggi, bahkan perutnya hampir menyentuh kanopi pohon Hutan Fafabo yang sedari tadi masih kami lewati. Berbagai raungan aku dengar dari arah bawah, mungkin itu adalah ulah para mutan yang tengah berburu.

Malam ini kuputuskan untuk membuka mulutku pada Egwin, Lora, dan Xilly. Sedangkan Goerge? Pria itu terlihat hanya diam, kedua tangannya mencengkram erat bulu merpati sedangkan padangannya lurus menatap langit malam yang membentang sejauh mata memandang. Kakek Davincio pun demikian, beliau hanya diam mencermati baik-baik jalur yang dilewati kedua merpatinya.

"Xilly, bisa kauceritakan sedikit tentang dirimu?" tanya Lora.

Pandangan Xilly yang semula melihati langit malam dengan kedua manik birunya sirna, berganti dengan tatapan datar ke Lora.

"Maaf, saya sedang tidak ingin bercerita," kata Xilly penuh hormat, "Demi kebaikan saya lebih memilih memikirkan nasib saya untuk ke depannya. Kerajaan Wizard terancam apa kalian tidak memikirkannya?"

Ah, apa sikap elf selalu seperti ini? Tidak mudah bergaul dan memilih jalur yang terbaik?

Dengan senyuman lebar aku menatap Xilly yang kembali meratapi jutaan bintang di atas.

Menyadari aku yang sedang melihatinya, Xilly sontak mempertemukan manik coklatku kepada manik birunya. "Ada apa yang terpilih? Apa ada yang salah dengan diriku?"

Egwin sedikit terkekeh mendengar pertanyaan yang Xilly barusan ucapkan. Maksudku, dia memanggilku yang "yang terpilih"?

Oh, ayolah jangan memanggilku "yang terpilih"! Cukup panggil aku Sisca saja, lagipula aku tidak sepenuhan yakin dengan ramalan itu.

"Xilly, kau bisa memanggilku Sisca saja," ucapku berusaha untuk tetap tersenyum.

"Baik, Sisca ...," ucapnya paham lalu kembali meratapi langit.

Kami terus bercakap-cakap, kebanyakan saat kami menanyai elf wanita itu, Xilly hanya menjawab, ya, atau, tidak. Sungguh gadis yang pendiam.

Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang