33.0 | William Julian's

153 15 0
                                    

Kesejukan yang pagi buta berikan telah sirna dimakan waktu, berganti dengan hawa panas yang kian lama kian bertambah sebab ulah mentari yang terus berjalan menuju atas.

Rumah-rumah kayu berdiri sejauh mata memandang, menciptakan pedesaan yang bersatu padu menjadi kerajaan kecil. Sebuah istana di pusat desa berdiri gagah dengan ribuan bata kelabu yang menyusunnya, membuat beberapa tanaman merambat di sekelilingnya melekat dan tubuh memanjang dan memanjang.

Di dalam istana besar itu tiga orang penyihir, satu orang penyihir kuno, dan dua manusia tengah berlutut di depan dua orang yang patut di sebut raja dan ratu. Bagaimana tidak? Pakaian yang bersih dan penuh hormat membalut tubuh mereka berdua, terlebih singgasananya yang mewah dan berkilau memantulkan sinar mentari yang menyusup masuk untuk kembali keluar.

"Apa yang membuat kalian kemari, penyihir?" tanya sang raja melihati satu per satu tamunya.

Sang penyihir kuno yang tak lain dan tak bukan adalah Davincio Julian berdiri dari posisi berlututnya dan menjawab, "Maaf Baginda, kami ingin memberikan suatu pemberitahuan dan ajakan yang amat penting."

Sang ratu menaikan alis kanannya rambut hitamnya terurai sampai menyentuh dadanya, membuat penampilannya menjadi lebih anggun, "Apa itu, penyihir?"

"Besok, adalah hari tumpah darah Yang Mulia," jelas Egwin mulai berbicara. "Hari di mana perang terbesar di Tanah Nortuland terjadi."

"Maksudmu?" raja bertanya.

"Para orc yang kejam itu menginginkan daratan Kerajaan Wizard, mereka akan mengarahkan jutaan pasukannya untuk merebut kerajaan kami, Yang Mulia," jelas Goerge yang masih berlutut di samping Jems.

"Kami ingin meminta bantuan Anda untuk mengirim beberapa pasukan untuk membantu kaum kami, Yang Mulia," ucap Lora langsung ke intinya.

"Maaf, tapi aku menolak untuk membantu kalian." Tolakan sang raja itu sukses membuat Zack, Egwin, Davincio, Lora, Jems, dan Goerge tercengang. Seketika aura keputusasaan menguasai diri mereka masing-masing.

Jauh-jauh mereka datang kemari dan hanya jawaban 'tidak' yang mereka dengar? Namun, keenam penyihir dan manusia ini tak ingin menyerah begitu saja, bagaimanapun caranya mereka harus bisa merayu sang raja untuk berkata, 'ya!'

"Yang Mulia, pikirkan apa yang telah para orc lakukan pada kaum Yang Mulia, mereka membantainya! Tidakkah hal itu membuat Yang Mulia lebih semangat untuk membasmi mereka?" Davincio menjelaskan dengan tampang memelas.

"Aku lebih memilih bersembunyi di sini, dibandingkan ikut berperang," ucap sang pemimpin manusia yang tersisa itu untuk kedua kalinya.

"Jika Yang Mulia lebih memilih berada di sini, maka cepat atau lambat para orc akan kembali membantai kalian," jelas Egwin frustasi.

Sang raja bangkit dari singgasananya, dahinya berkerut kesal, sotot matanya menatap bergantian seluruh penyihir. "Kalau begitu, mengapa kaum kalian para penyihir tidak ikut membantu kaum kami dulu saat perang! Jika saja kalian membantu kami, mungkin para orc sudah bisa dikalahkan!!"

Hening, Davincio dan lainnya kehabisan kata-kata. Yang raja katakan tidak sepenuhnya salah, dulu saat perang besar, kaum penyihir lebih memilih untuk bersembunyi di balik tembok dibanding ikut berperang. Dan naasnya, rasa pengecut itu kini tumbuh menjadi perang yang lebih besar.

Semua telah terjadi seiring berjalannya waktu, tidak ada kata menyesal karena semua telah terjadi.

"Cepat kalian pergi dari hadapanku sembelum aku perintahkan penyihir kerajaan untuk mengusir kalian jauh-jauh," ancam raja semakin marah.

"Yang Mulia, kami minta maaf dengan itu semua, Zuton-lah yang memberi tahu kebaradaan kaum Yang Mulia yang menetap di sini," jelas Davincio memintamaaf.

Fransisca Julian and the Nortuland Magic Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang