Chapter 1: My Annoying Brother

5.6K 253 35
                                    

Don't forget to vote ❤️ and comment












Jam menunjukkan pukul 21.35 WIB. Gue lagi tengkurap di atas karpet sambil ngetik dengan laptop merah gue. Kerjaan gue sebagai guru Seni sekaligus guru BK di salah satu SMA unggulan di Ibukota membuat tugas gue sebagai guru nggak hanya berhenti saat di sekolah saja. Seringkali pekerjaan ini gue bawa sampai kontrakan dan gue kerjain sampai larut malam, sekali pun malam minggu seperti saat ini.

Melihat nama R. Jaemin Jinendra Harsonohadi di form laporan kenakalan siswa, bikin gue geleng-geleng sendiri. Sudah nggak kehitung berapa kali dia masuk ke ruang BK. Sudah nggak kehitung juga berapa kali orang tuanya yang masih ada keturunan ningrat itu nangis-nangis ke gue minta anaknya dibimbing lebih intens supaya nggak berakhir dengan tinggal kelas karena kebandelannya yang luar biasa.

Kasus kali ini juga bikin gue pengen nepok jidat. Kemarin dia dilaporkan mengunci temannya di toilet. Kasihan sebenarnya, karena dia melakukan itu agar mendapat perhatian dari orang tuanya. Tapi yang ada di pikiran orang tuanya hanyalah reputasi semata. Seandainya orang tuanya sadar kalau yang dibutuhkan anaknya hanyalah kasih sayang, tentu nggak akan ada nama Jaemin di form yang gue pegang sekarang.

Gue lalu telentang dan mengambil napas dalam-dalam, mengalihkan perhatian dari pekerjaan sejenak sebelum akhirnya suara ringtone handphone gue yang cukup nyaring itu terdengar.

"Intelegensia Amanina Arshaad!!"

Suara menggelegar di seberang sana bikin gue nyesel udah nempelin lubang suara handphone ke telinga gue. Harusnya begitu lihat nama "Cendikia Lazuardi Arshaad" di layar handphone, gue udah wanti-wanti buat menjauhkan speaker handphone gue.

"Apaan sih, Bang? Bang Chen kalo ngomong tuh nggak bisa biasa banget sih!" protes gue.

"Ya habisnya kamu tuh di kirimin pesan nggak balas dari tadi. Abang lapar banget ini."

"Lapar mah abang telepon delivery, kenapa telepon ke Anna? Itu warung pecel lele Mang Asep depan rumah sakit juga Anna yakin masih buka."

"Dek, ah! Masa tega lihat abang makan lele tiap hari? Lama-lama abang bakal ikutan punya sirip nih gara-gara kebanyakan makan lele!"

"Itu sih derita abang," jawab gue males.

"Ayo dong adik abang yang cakep, bikinin makan malam terus anterin kesini. Di IGD lagi rame pasien nih, abang nggak sempat keluar. Besok pas abang libur, kita jalan-jalan deh sama si Haechan."

Gue lemah. Cuma diimingi jalan-jalan bertiga sama adik bungsu gue, Brilliano Haendaru Arshaad aja gue udah seneng banget. Sudah lumayan lama kita nggak pernah out lagi bertiga karena bang Chen juga lagi sibuk di rumah sakit dan lagi studi spesialis.

"Yaudah. Anna bikinin Kimbap aja ya, Bang? Males belanja keluar."

"Sip! Kimbap bikinanmu enak kok, Dek. Banyakin ya porsinya? Abang tunggu."

Setelahnya telepon terputus dan gue bersiap ke dapur buat bikinin abang gue kimbap. Biar kata berisik dan heboh begitu, gue sayang banget sama Bang Chen. Makanya gue mau bikinin dia makan malam, dan mengantarnya ke rumah sakit. Karena gue tahu, kalau dia sudah sibuk sama pasien, buat nyuap makanan ke mulut akan jadi hal yang susah dilakukannya.

Ini akan menjadi kunjungan gue ke rumah sakit setelah sekian lama. Gue nggak ingat kapan terakhir kalinya gue menginjakkan kaki di rumah sakit tempat bang Chen praktek. Pendek kata, rumah sakit adalah salah satu tempat yang nggak gue suka. Alasannya? Percaya nggak percaya, rumah sakit itu tempat paling nggak enak buat gue, karena disana kemampuan spesial gue bakalan menajam dengan sendirinya, dan "mereka" akan mendatangi gue. Iya, gue bisa melihat apa yang ngga bisa dilihat orang lain.

Hal itu menjadi salah satu penyebab kenapa gue nggak mau ikutan kayak Bang Chen buat jadi dokter, padahal orang tua udah nyiapin segalanya buat gue biar bisa jadi dokter. Itu sih hanya alasan sekunder. Sebenarnya, alasan utamanya adalah karena profesi eksakta itu nggak cocok buat gue yang memang lebih suka seni dan sosial. Itulah akhirnya kenapa gue lebih memilih menjadi guru seni, yang pada akhirnya bikin gue di usir dari rumah tepat seminggu setelah wisuda sarjana.

Papa yang merupakan CS (Cardiothoracic Surgeon) sekaligus direktur rumah sakit tempat Bang Chen praktek itu, jadi murka luar biasa dan bilang bahwa gue anak durhaka karena nggak mau nurut apa yang dia inginkan. Gue yang memang berprinsip bahwa karir adalah hal yang harusnya gue cintai pun akhirnya dengan senang hati melangkah keluar rumah, menantang comfort zone gue, dan untungnya gue saat itu dalam status sudah diterima menjadi guru.

Gue pun mengontrak di sebuah rumah sederhana yang nggak jauh dari sekolah. Awal mengajar, gue harus naik Trans Jakarta. Baru setelah mendapatkan gaji di bulan ke 8, gue memutuskan buat kredit motor. Banyak teman gue yang menyayangkan keputusan gue keluar dari rumah, karena di rumah semuanya tersedia. Sebagai anak direktur rumah sakit ternama, gue tentu nggak pernah merasa kekurangan apapun sejak kecil. Tapi hidup seperti ini juga bukan hal yang buruk. Gue jadi lebih mandiri dan lebih siap dengan segala kesulitan karena gue jadi terbiasa mengurus semuanya sendirian.

Prinsip gue tentang karir yang bikin gue sekarang diamanahi sama kepala sekolah gue, pak Suho, buat jadi guru BK yang sekaligus jadi konselor buat anak-anak kelas 3 yang mau lulus. Nggak kok, mereka nggak gue ajarin buat berontak sama orang tua. Gue hanya menuntun mereka menemukan karir yang sesuai dan menjembatani siswa dengan orang tuanya, karena gue nggak mau orang tua lainnya punya karakter kayak papa. Hanya mau didengar tanpa mau mendengar.

Dari pengalaman jadi guru BK bikin gue sadar bahwa masalah antara orang tua dan anak selalu bisa terselesaikan jka menggunakan komunikasi yang baik. Hal itu membuat gue miris, mengingat sampai sekarang, gue belum berdamai sama sekali sama papa. Iya, sampai sekarang. Setelah tiga tahun gue keluar dari rumah gue dan tinggal terpisah dari keluarga gue.












TBC.....





Hai.. alhamdulillah akhirnya Chenzie bisa memulai bikin cerita lagi.

Semoga kalian enjoy sama cerita ini. See You next Chapter. ❤️

My Super Perfectionist Husband  [completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang