Keping Ketiga

836 105 70
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak like/

vote ya⭐⭐ ....

Komen juga kalo kamu suka sama story ini.

Enjoy it~



"Banyak hal yang tak bisa dipaksakan, namun layak diberi kesempatan."

Dewi Lestari







Matahari menyembul malu di balik bukit hijau yang indah ini, menyinari rumpun bunga berwarna-warni yang tumbuh di hampir seluruh bagian perbukitan yang tak terlalu tinggi menjulang. Ada mawar, tulip, anyelir, dan banyak bunga lainnya yang tak kalah indah. Suara burung yang berkicau bersahutan juga menambah indahnya alam disini. Sejauh mata memandang, yang gue lihat hanyalah keindahan. Keindahan yang belum pernah gue temui dimana pun sebelumnya.

Gue hirup napas kuat-kuat. Bau alam ini begitu segar. Tentu saja hal ini sangat menyenangkan karena seumur hidup gue dibesarkan di lingkungan ibukota yang penuh dengan asap polusi dan suara bising. Menyenangkan, serius. Mungkin jika kalian berada disini, kalian pun juga akan merasakan kesenangan yang sama dengan yang gue rasakan.

Selain gue, sebenarnya disini ada banyak sekali orang-orang yang tinggal dan menetap. Dari roman wajah mereka, gue tahu kalo mereka bahagia banget berada disini. Para penghuninya juga rata-rata berusia muda. Memang ada anak-anak dan orang yang sudah tua. Namun sesungguhnya itu hanyalah penjelmaan. Mereka sesungguhnya punya usia yang relatif sama. Tidak tua dan selalu bugar.

Itu adalah rahasia yang ada disini, alam yang sampai sekarang masih belum gue percaya kalo gue udah cukup lama menetap.

"Hei Kau!" sebuah suara menyapa gue yang sedang rebahan di padang rumput ini.

Gue kabangun, lalu menoleh ke arah seseorang yang manggil gue tadi. Ada sesosok laki-laki yang kayaknya secara usia juga nggak jauh dari usia gue.

"Masih belum dapat tempat tinggal?" tanyanya sambil berjalan mendekat. Ditangannya ada sebotol susu murni.

Disodorkannya botol berisi susu itu, lalu gue tenggak habis.

"Belum. Gue nggak tahu harus kemana."

"Mau ke tempat gue lagi? Dicoba lagi gitu."

Gue menggeleng. Ini sudah yang kesekian puluh kalinya gue mencoba tinggal di pondok milik orang-orang ini namun nggak ada satu pun yang seolah membuat gue nyaman. Setiap kali gue beristirahat di pondok milik mereka, gue akan selalu merasakan kesakitan yang luar biasa. Padahal menurut mereka yang sudah menghuni tempat ini lebih dulu, kalau gue udah ada disini sih harusnya udah nggak ada rasa sakit lagi.

"Kayaknya hipotesaku bener deh. Jangan-jangan kamu tuh nggak seharusnya ada disini."

Gue tertawa. "Kalo gue nggak seharusnya ada disini, pada kenyataannya sekarang lo udah lihat gue disini, didepan mata lo."

Dia terdiam. Cowok yang gue kenal bernama Terry ini adalah orang yang sering banget bantuin gue buat menemukan kebenaran tentang kenapa gue ada disini dan kenapa gue nggak bisa berlaku dan beradaptasi sebagaimana orang-orang lainnya yang ada disini.

"Bangun. Kita harus menemui seseorang."

"Hah? Siapa?" Gue bertanya dengan penasaran.

"Seseorang yang bakalan bisa jawab penasaran kita semua."

Gue bersungut. Nggak jelas banget ini si Terry emang. Tapi mau gimana lagi? Seenggaknya gue juga butuh kejelasan ini gue emang udah waktunya berada disini atau enggak. Soalnya gue belum sebisa itu melupakan semua urusan gue di dunia gue yang sebelumnya.

My Super Perfectionist Husband  [completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang